ASURANSI JIWA
1. PENGERTIAN
Terdapat
beberapa pengertian asuransi jiwa menurut beberapa ahli hukum, menurut Djoko
Prakoso dan I Ketut Murtika yang dikutip dari Molenggraf, berpendapat bahwa:
“Asuransi
jiwa dalam pengertian luas memuat semua perjanjian mengenai pembayaran sejumlah
modal atau bunga, yang didasarkan atas kemungkinan hidup atau mati, dan
daripada itu pembayaran premi atau dua-duanya dengan cara digantungkan pada
masa hidupnya atau meninggalnya seseorang atau lebih.”[1]
Kemudian
menurut Wirjono Prodjodikoro, pada Pasal 1a Bab I Staatsblad 1941-101, pengertian asuransi jiwa sebagai berikut:
”Perjanjian
asuransi jiwa ialah perjanjian tentang pembayaran uang dengan nikmat dari premi
dan yang berhubungan dengan hidup atau matinya seseorang termasuk juga
perjanjian asuransi kembali/uang dengan pengertian/catatan bahwa perjanjian
dimaksud tidak termasuk perjanjian asuransi kecelakaan.”[2]
Sedangkan
menurut H.M.N Purwosutjipto:
“Asuransi
jiwa dapat diartikan sebagai pertanggungan jiwa adalah perjanjian timbal balik
antara penutup (pengambil) asuransi dengan penanggung dengan mana penutup
asuransi mengikatkan diri selama jalannya pertanggungan membayar uang premi
kepada penanggung, sedangkan penanggung sebagai akibat langsung dari
meninggalnya orang yang jiwanya dipertanggungkan atau telah lampaunya suatu
jangka waktu yang diperjanjikan mengikat diri untuk membayar sejumlah uang
tertentu kepada orang yang ditunjuk untuk penutup asuransi sebagai penikmatnya.
”[3]
Volmar
yang menyebut pertanggungan jiwa dengan istilah sommen verzekering, berpendapat
bahwa:
“Secara
luas sommen verzekering itu dapat
diartikan sebagai suatu perjanjian dimana suatu pihak mengikatkan dirinya untuk
membayar sejumlah uang secara sekaligus atau periodik, sedangkan pihak
mengikatkan dirinya untuk membayar premi dan pembayaran itu adalah tergantung
kepada hidup atau matinya seseorang tertentu atau lebih.”[4]
Santoso Poejosoebroto
memberikan pengertian asuransi sebagai berikut:
“Asuransi pada umumnya
adalah suatu perjanjian timbal balik dalam mana pihak penanggung dengan
menerima premi mengikatkan diri untuk memberikan pembayaran kepada pengambil
asuransi atau orang yang ditunjuk, karena terjadinya peristiwa yang belum
pasti. Yang disebutkan di dalam perjanjian, baik karena pengambil asuransi atau
tertunjuk menderita kerugian yang disebabkan oleh peristiwa lain, maupun karena
peristiwa tadi mengenai hidup dan kesehatan.”[5] Makna
asuransi jiwa dapat dilihat dari segi jaminan, segi sosial, segi ekonomi, dan
segi finansial.
Dari segi jaminan,
asuransi jiwa merupakan asuransi dengan manusia sebagai kepentingan interest
yang diasuransikan berbeda dengan asuransi kerugian, dengan harta benda sebagai
kepentingan yang diasuransikan, dengan membayar premi setiap tahun atau selama
suatu jangka waktu terbatas, seseorang tertanggung sebagai imbalan dari premi
yang dibayarkan kepada penanggung menerima jaminan yaitu :
- Pada
hari tua tertanggung akan diberikan sejumlah uang sebagai santunan biaya hidup.
- Bila
tertanggung meninggal dunia, akan diberikan sejumlah uang kepada ahli waris
tertanggung sebagai santunan biaya hidup.
- Bila
tertanggung mengalami kecelakaan fisik, akan diberikan sejumlah uang santunan
biaya hidup bila tertanggung menjadi cacat tetap/ biaya pengobatan.
Kemudian dari segi
sosial, asuransi dapat diartikan sebagai suatu rencana sosial yang bertujuan
memberikan santunan kepada orang yang menderita karena ditimpa musibah, yang
santunannya diambil dari kontribusi yang dikumpulkan dari semua pihak yang berpartisipasi
dalam rencana sosial itu.[6]
Sedangkan dari segi
ekonomi, adalah suatu disiplin ilmu tentang usaha manusia mencari kepuasan guna
memenuhi kebutuhan kesejahteraan hidup, dengan cara berusaha mencapai hasil
maksimal dengan pengorbanan minimal, namun upaya manusia untuk mencari dan
memenuhi kebutuhan hidup tidak selalu berhasil karena setiap upaya maupun
perbuatan mengandung resiko. Jadi pada hakekatnya asuransi jiwa merupakan
pelimpahan resiko oleh tertanggung kepada penanggung agar kerugian yang diderita
oleh tertanggung dijamin oleh penanggung.[7]
Kemudian dari segi
finansial, perusahaan asuransi menghimpun dana dari para tertanggung dalam
bentuk premi. Dari dana yang terkumpul itu, sebagian untuk dana klaim, dan
bagian yang lainnya diinvestasikan dalam bentuk deposito, dalam surat-surat
berharga (saham, obligasi) dalam aktiva tetap seperti kantor, dan rumah untuk
disewakan sehingga memperoleh penghasilan.[8]
Dari beberapa pengertian tentang asuransi jiwa yang dikemukakan oleh para pakar
hukum di atas ada beberapa hal yang sebenarnya harus ada dalam suatu asuransi
jiwa. Dimana asuransi jiwa tersebut merupakan perjanjian timbal balik antara
penanggung dengan tertanggung yang bertujuan untuk mengatasi resiko atau
peristiwa yang dapat merugikannya.
2.
DASAR
HUKUM
Menurut Pasal 246 KUHDagang:
“Asuransi atau pertanggungan adalah
perjanjian, di mana penanggung mengikat diri terhadap tertanggung dengan
memperoleh premi, untuk memberikan kepadanya ganti rugi karena suatu
kehilangan, kerusakan, atau tidak mendapat keuntungan yang diharapkan, yang
mungkin akan dapat diderita karena suatu peristiwa yang tidak pasti.”
Pasal
302 KUHDagang sebagai dasar asuransi jiwa, menyatakan bahwa:
“Jiwa seseorang dapat
dipertanggungkan untuk keperluan orang yang berkepentingan, baik untuk selama
hidup ataupun untuk suatu waktu yang ditentukan dengan perjanjian.”
Menurut Pasal
1 angka 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian:
“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau
lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan
menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena
kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung
jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang
timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu
pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang
dipertanggungkan.”
Peraturan perundangan yang digunakan sebagai dasar hukum pembinaan
dan pengawasan usaha perasuransian di Indonesia saat ini:
1. UU Nomor
2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian,
2. PP Nomor
73 tahun 1002 tentang Usaha Perasuransian,
3. Keputusan
Menteri Keuangan, antara lain:
a. Nomor
223/KMK.017/1993 tanggal 26 Februari 1993 tentang Perizinan Perusahaan Asuransi
dan Reasuransi,
b. Nomor 224/KNE.017/1993
tanggal 26 Februari 1993 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan
Reasuransi,
c. Nomor 225/KMK.017/1993
tanggal 26 Februari 1993 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan
Reasuransi,
d. Nomor 226/CMK.017/1993
tanggal 26 Februari 1993 tentang Perizinan dan Penyelenggaraan Kegiatan Usaha
Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi.
3. SEJARAH
Sejarah mengenai
asuransi jiwa sudah tercatat sejak 2000 tahun yang lalu ketika sekelompok orang
di kerajaan Romawi membentuk perkumpulan kematian yang memberikan bantuan dana
bagi keluarga dari anggota perkumpulan tersebut yang meninggal dunia . Sayang ,
tidak ada catatan yang lebih akurat yang menunjukkan secara persis bagaimana
mereka mengelola dan mengoperasikan perkumpulan kematian tersebut.
Polis pertama di dunia
yang tercatat secara baik. Di terbitkan di Inggris pada tanggal 15 Juli 1583
atas nama William Gybbons , seorang pedagang garam warga London yang ketakutan
akan desas-desus wabah penyakit menular yang berjangkit saat itu. Gybbons
meminta pertanggungan sebesar £400 untuk masa perlindungan selama satu
tahun dan membayar £32 sebagai imbalan kepada pihak penanggung, yaitu
sekelompok pemilik uang yang biasa berkumpul disebuah kedai kopi.
Dasar dari pembelian
asuransi jiwa oleh William Gybbons pada saat itu adalah tersiarnya berita dari
mulut-kemulut yang mengatakan bahwa selama 70 tahun akan terjangkit penyakit
menular yang menyerang kota London dan sekitarnya selama lima kali . Setiap
kali penyakit tersebut menyerang, setidaknya 20% dari jumlah penduduk london
akan meninggal dunia.
Untuk mengurangi
kepanikan warga, pada tahun 1603 pemerintah kota London menerbitkan Bills of
Mortality untuk membuktikan bahwa kematian yang sesungguhnya terjadi tidaklah
sebesar desas-desus yang ada. Dalam perkembangannya Bills of Mortality merupakan
dasar dari Tible of Montality yang sekarang dikenal dalam asuransi jiwa.
Pada masa awal
perkembangan asuransi jiwa, proses underwriting lebih banyak dilakukan oleh
individu daripada dilakukan oleh sebuah perusahaan. Juga merupakan praktek yang
umum dilakukan pada masa itu bahwa seseorang mengambil polis atas diri orang
kaya atau terkenal dengan harapan apabila orang tersebut meninggal dunia maka
si pemegang polis akan mendapatkan keuntungan. Dalam kacamata saat ini, hal
semacam itu lebih merupakan sebuah bentuk perjudian.
Perusahaan asuransi
dalam arti sebenarnya, pertama kali didirikan oleh Dr.Assheton pada tanggal 4
Oktober 1699. Sayangnya perusahaan itu hanya dapat bertahan selama 46 tahun
karena mengalami kebangkrutan di kemudian hari.
Dalam perkembangan
selanjutanya, banyak perusahaan asuransi yang didirikan dalam bentuk mutual
company yaitu perusahaan yang dimiliki secara bersama-sama oleh setiap pemegang
polis di dalamnya. Dengan cara ini, sebuah polis biasanya tidak mencantumkan
uang pertanggungan secara pasti sebagaimana polis yang dikenal saat ini, namun
hanya menyebutkan manfaat yang kemungkinan akan dibayar sejalan dengan jumlah
anggota yang berkurang karena meninggal dunia dari tahun ke tahun.
Pada saat ini,
perkembangan polis asuransi jiwa sudah jauh lebih maju. Hampir semua kontrak
polis menyebutkan jumlah uang pertanggungan yang pasti dalam jumlah yang
mungkin saja sangat besar. Selain itu, ada banyak sekali jenis asuransi jiwa
sesuai dengan kebutuhan pribadi maupun bisnis. Tidak hanya produk asuransi yang
murni memberikan perlindungan, tetapi juga dikaitkan dengan jenis-jenis
investasi baru tertentu.
4. RISIKO YANG DITANGGUNG
Ada
banyak manfaat asuransi bagi masyarakat. Untuk mendapatkan manfaat yang sesuai,
sebaiknya perlu mengenali bentuk risiko yang bisa ditanggung saat akan membeli
asuransi jiwa. Risiko yang bisa ditanggung asuransi jiwa menurut Iskandar Kasir,
ada beberapa kategori risiko yang bisa diasuransikan, yaitu:[9]
-
Kerugian
terjadi secara kebetulan, di mana kerugian yang terjadi harus
sesuatu yang tidak diharapkan ataupun tidak sengaja dilakukan, misalnya
kecacatan akibat sakit atau kecelakaan.
-
Kerugiannya
riil atau nyata, kerugiannya harus bisa dibatasi dengan
waktu atau jumlah. Misalnya, sampai kapan polis dibayarkan atau berapa banyak
yang harus ditanggung.
-
Kerugian
harus berarti, kerugian yang terjadi bisa menimbulkan
beban yang berat, misalnya akibat kecelakaan kerja, seseorang jadi tidak bisa
bekerja selama satu tahun sehingga tak bisa mendapat penghasilan untuk
menanggung hidup keluarganya.
-
Tingkat
kerugian harus bisa diprediksi, seberapa
besar kerugian yang akan ditanggung perusahaan asuransi harus bisa
diperkirakan. Dengan begitu, premi yang harus dibayar pun bisa dihitung berapa
besarnya.
-
Kerugiannya
tidak menjadi bencana katastrofe
(malapetaka besar yang datang tiba-tiba), perusahaan
asuransi tidak akan menanggung risiko yang muncul akibat daerah tertentu sudah
langganan banjir, dekat dengan gunung berapi, atau potensi kerap mengalami
bencana lainnya.
5. SAAT LAHIR DAN BERAKHIRNYA
PERJANJIAN
Lahirnya perjanjian
asuransi dimulai dengan perbuatan adanya negosiasi antara tertanggung dan
perusahaan asuransi (dalam hal ini biasanya diwakili oleh agen suransi).keinginan
untuk berjanji itu dilakukan dengan berbagai tahap administratif, yaitu :
1. Calon
tertanggung mengisi formulir yang sudah disiapkan oleh perusahaan asuransi (Surat
Permintaan Asuransi Jiwa).
2. Calon
tertanggung membayar premi.
3. Penanggung
memeriksa Surat Permintaan Asuransi Jiwa dari calon tertanggung kemudian
memberi jawaban menerima atau menolak. Saat penanggu menyatakan setuju terhadap
Surat Permintaan Asuransi Jiwa dari calon tertanggung maka perjanjian asuransi
dianggap lahir, meskipun polis belum diterbitkan.
4. Polis
asuransi ditandatangani (diterbitkan) oleh penanggung (penanggung asuransi).
6. HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK
Pemegang
polis ialah pihak yang kedudukannya sangat penting disamping penanggung. Sebab
ia dapat menentukan kehendak secara bebas, apakah akan melanjutkan perjanjian
pertanggungan atau akan menghentikannya.
Hak-hak
dari pemegang polis meliputi: penebusan polis (Pasal 7 syarat-syarat polis), penggadaian
polis (Pasal 8 syarat-syarat umum polis), menerima pembayaran faedah asuransi
(Pasal 9), dan merubah pihak yang ditunjuk (Pasal 11), sedangkan hak penanggung
adalah menerima pembayaran premi dari tertanggung.
Perjanjian
asuransi jiwa adalah suatu persetujuan dua pihak dimana pihak tertanggung
membayar premi sebagai prestasi, yang sebagai gantinya menerima ganti rugi dari
penanggung. Pembayaran premi kepada pihak penanggung selama kontrak berjalan
merupakan kewajiban dari pihak tertanggung/pemegang polis, sedangkan kewajiban
pihak penanggung adalah membayar ganti kerugian.
7.
POLIS
Dalam pasal 255 KUHD
disebutkan bahwa :
“Suatu
pertanggungan harus dibuat secara tertulis dalam suatu akte yang dinamakan
polis”.
Ketentuan tersebut di
atas memberikan kesan seolah-seolah perjanjian asuransi jiwa harus dibuat
secara tertulis sebagai syarat mutlak. Padahal polis bukanlah syarat mutlak
adanya perjanjian asuransi jiwa, tetapi hanyalah merupakan alat bukti adanya
perjanjian.
Hal tersebut dijelaskan
dalam Pasal 257 KUHDagang yang menyatakan bahwa :
“Perjanjian
pertanggungan diterbitkan seketika setelah ia ditutup, hak-hak dan
kewajiban-kewajiban bertimbal balik dari si penanggung dan si tertanggung mulai
berlaku semenjak saat itu, bahkan sebelum polisnya ditandatangani”.
Dalam hal ini berarti
bahwa walaupun tidak ada polis (polis sebelum terbit), perjanjian asuransi jiwa
tetap berlaku apabila telah ditutup (telah ada persesuaian kehendak) dan dapat
dibuktikan dengan bukti-bukti lain, misalnya dengan kwintansi pembayaran premi.
Meskipun untuk sahnya
suatu perjanjian asuransi jiwa menurut undangundang tidak ada keharusan adanya
formalitas tertentu (seperti akte tertulis yang disebut polis), namun sangatlah
penting adanya akte yang demikian itu. Hal ini dengan mengingat bahwa
perjanjian asuransi jiwa adalah berhubungan dengan kepentingan finansial dan
perjanjian tersebut bersifat perjanjian kemungkinan. Oleh karena itu
undang-undang sendiri hendaknya melindungi penanggung (perusahaan asuransi
jiwa), dengan cara bahwa adanya perjanjian asuransi jiwa itu harus dibuktikan
secara tertulis. Sehingga ditetapkan adanya akte yang ditandatangani penanggung
yang disebut polis, sebagai bukti adanya perjanjian asuransi jiwa tersebut.
Polis menurut
pengertian umum adalah suatu perjanjian yang perlu dibuat bukti tertulis atau
suatu perjanjian antara pihak-pihak yang mengadakan perjanjian-perjanjian bukti
tertulis untuk perjanjian asuransi.
Surat perjanjian ini
dibuat dengan itikad baik dari kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian. Di
dalam surat perjanjian itu disebutkan dengan tegas dan jelas mengenai hal-hal
yang diperjanjikan kedua belah pihak, hak-hak masingmasing pihak, sanksi atas
pelanggaran perjanjian dan sebagainya.
Kemudian polis dapat
juga diartikan surat perjanjian asuransi jiwa yang menguraikan hal-hal yang
menjadi dasar dan syarat-syarat asuransi, ditandatangani oleh penanggung dan
pemegang polis. Dari pengertian di atas bahwa polis asuransi merupakan salah
satu dari alat bukti telah terjadi perjanjian asuransi. Pada dasarnya
pengertian polis asuransi jiwa sama dengan pengertian polis pada umumnya.
Perbedaan polis
asuransi jiwa dengan polis asuransi pada umumnya hanya dari isi polis, dimana
isi polis asuransi jiwa diatur dalam Pasal 304 KUHDagang dan isi polis pada
umumnya diatur dalam Pasal 256 KUHDagang.
Menurut Pasal 304
KUHDagang, polis asuransi jiwa harus memuat hal-hal sebagai berikut :
-
Hari diadakan asuransi
-
Nama tertanggung
-
Nama orang yang jiwanya diasuransikan
-
Saat mulai dan berakhirnya evenemen
-
Jumlah asuransi
-
Premi asuransi
Sedangkan menurut polis
dari pertanggungan perorangan PT. Asuransi Jiwasraya, yaitu :
-
Dasar permintaan asuransi dari calon
pemegang polis atas penawaran yang dilakukan PT. Asuransi Jiwasraya (melalui
brosur-iklan atau agen perusahaan), dengan adanya kalimat “Berdasarkan Surat
Permintaan tanggal...”
-
Nama Pemegang Polis
-
Nama Tertanggung
-
Macam Asuransi
-
Besarnya Uang Asuransi
-
Berlakunya Asuransi
-
Premi (besarnya, periode pembayaran dan
cara pembayaran)
-
Penerima faedah yang ditunjuk (menurut
urutannya)
Sekarang kita
perbandingkan isi polis menurut undang-undang (KUHD) dengan isi polis yang
berlaku dalam praktek pada PT. Asuransi Jiwasraya. Jika kita perhatikan isi
polis seperti polis PT. Asuransi Jiwasraya, maka dapat diberikan catatan
sebagai berikut :
-
Hari ditutupnya pertanggungan (butir 1
Pasal 304 KUHD) tidak disebutkan di dalam polis (Surat Permintaan tanggal),
tidak dapat dianggap sebagai hari ditutupnya pertanggungan. Karena seperti
telah dikatakan, bahwa Surat Permintaan itu baru merupakan penawaran dari pihak
pemegang polis. Penerimaan penawarannya adalah pada tanggal yang dinyatakan
dalam Non-Penutupan.
-
Nama si Tertanggung (butir 2 Pasal 304
KUHDagang), seharusnya disebutkan: nama pemegang polis (titik 2 polis PT.
Asuransi Jiwasraya). Sebab pemegang polis yang menjadi kontrakan, walaupun
mungkin saja ia juga sekaligus menjadi tertanggung (dalam hal pemegang polis
mempertanggungkan dirinya sendiri).
-
Nama orang yang jiwanya dipertangungkan
(butir 3 Pasal 304 KUHDagang), maksudnya adalah nama tertanggung (titik polis
PT. Asuransi Jiwasraya).
-
Macam asuransi (butir 4 polis PT.
Asuransi Jiwasraya), tidak ada disebutkan dalam Pasal 304 KUHDagang, hal ini
merupakan perkembangan di dalam praktek, yang memerlukan pencantumannya di
dalam polis.
-
Saat mulai dan berakhirnya bahaya bagi
si Penanggung (butir 4 Pasal 304 KUHDagang) adalah sama dengan berlakunya
asuransi (butir 6 polis PT. Asuransi Jiwasraya)
-
Yang ditunjuk untuk menerima faedah
asuransi (butir 8 Pasal 304 KUHDagang) tidak disebutkan di dalam Pasal 304
KUHDagang. Padahal pihak yang ditunjuk untuk menerima faedah (uang) asuransi
ini atau tertunjuk adalah sangat penting, karena untuk kepentingan tertunjuk
inilah perjanjian asuransi jiwa itu sebenarnya diadakan. Oleh karena itu
pencantumannya di dalam polis mutlak harus ada.
Pada halaman belakang
polis PT. Asuransi Jiwasraya terdapat ruang catatan, dengan keterangan :
-
Semua catatan yang tercantum di dalam
ruang ini maupun yang terdapat dalam lampiran-lampiran polis ini adalah bagian
mutlak dari perjanjian ini.
-
Perjanjian ini dibuat berdasarkan surat
permintaan pemegang polis dan jika tidak diadakan ketentuan-ketentuan dan atau
perubahan-perubahan yang dicantumkan di dalam polis ini, maka berlakulah
syarat-syarat umum asuransi jiwa terlampir yang merupakan bagian mutlak yang
tidak dapat dipisahkan dari perjanjian ini.
Ruang catatan yang
dimaksud untuk mencantumkan hal-hal atau keterangan-keterangan yang penting
yang menyangkut ketentuan-ketentuan (tambahan) atau perubahan-perubahan
terhadap kontrak asuransi. Selain itu tentang polis diatur di dalam Pasal 305
KUHDagang yang menyatakan tentang perkiraan jumlah uang mana diadakan
pertanggungan tersebut dan penentuan tentang syarat-syarat pertanggungan itu
diserahkan sama sekali kepada persetujuan kedua belah pihak.
Dari uraian di atas
dapat kita lihat polis asuransi jiwa diatur sendiri dalam Pasal 304 KUHDagang,
namun dapat kita lihat Pasal 304 KUHDagang mengenai isi polis asuransi jiwa
tidak baku, karena masing-masing perusahaan asuransi jiwa mempunyai isi polis
tersendiri yang sebenarnya tidak bertentangan dengan bentuk baku Pasal 304
KUHDagang.
Dalam polis dijelaskan
apa yang menjadi hak dan kewajiban pemegang polis serta hak dan kewajiban dari
perusahaan asuransi jiwa.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku:
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Hukum Asuransi Indonesia, Jakarta: Bina
Aksara, 1989.
Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertanggungan, Hukum Dagang,
Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM, 1975.
H.M.N Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang, Jilid
6 Hukum Perdagangan, Jakarta: Djambatan, 1992.
Iskandar Kasir dkk, dalam bukunya Dasar-dasar
Asuransi Jiwa, Kesehatan, dan Anuitas, Jakarta: AAMAI, 2011.
Santoso Poejosoebroto, Beberapa Aspek Tentang Hukum Pertanggungan
Jiwa di Indonesai, Jakarta: Bharata, 1969.
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia, Jakarta:
Intermasa, 1996.
Peraturan Perundang-undangan:
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Kitab Undang-undang Hukum Dagang
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian
[1] Djoko
Prakoso dan I Ketut Murtika, Hukum
Asuransi Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1989), hal 265.
[2] Wirjono
Prodjodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia,
(Jakarta: Intermasa, 1996), hal.12.
[3] H.M.N
Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum
Dagang, Jilid 6 Hukum Perdagangan,
(Jakarta: Djambatan, 1992), hal 9.
[4] Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertanggungan, Hukum Dagang, (Yogyakarta:
Fakultas Hukum UGM, 1975), hal 91.
[5] Santoso
Poejosoebroto, Beberapa Aspek Tentang
Hukum Pertanggungan Jiwa di Indonesai, (Jakarta: Bharata, 1969)
[6] Ibid, hal 271
[7] Ibid, hal 273
[8] Ibid, hal 274
[9] Iskandar
Kasir dkk, dalam bukunya Dasar-dasar Asuransi Jiwa, Kesehatan, dan Anuitas (Jakarta:
AAMAI, 2011), hal 24-28.
mantab kak sharing nya walaupun repost
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapushttps://fadla.wordpress.com/2016/11/30/fatwa-mui-tentang-asuransi-syariah/
BalasHapuslengkap sekali artikel asuransi anda, ini bisa menjadi bahan makalah yang bagus,
BalasHapusasuransi unit link