Kamis, 07 Januari 2016

ASURANSI JIWA



ASURANSI JIWA

1.    PENGERTIAN
Terdapat beberapa pengertian asuransi jiwa menurut beberapa ahli hukum, menurut Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika yang dikutip dari Molenggraf, berpendapat bahwa:
“Asuransi jiwa dalam pengertian luas memuat semua perjanjian mengenai pembayaran sejumlah modal atau bunga, yang didasarkan atas kemungkinan hidup atau mati, dan daripada itu pembayaran premi atau dua-duanya dengan cara digantungkan pada masa hidupnya atau meninggalnya seseorang atau lebih.”[1]
Kemudian menurut Wirjono Prodjodikoro, pada Pasal 1a Bab I Staatsblad 1941-101, pengertian asuransi jiwa sebagai berikut:
”Perjanjian asuransi jiwa ialah perjanjian tentang pembayaran uang dengan nikmat dari premi dan yang berhubungan dengan hidup atau matinya seseorang termasuk juga perjanjian asuransi kembali/uang dengan pengertian/catatan bahwa perjanjian dimaksud tidak termasuk perjanjian asuransi kecelakaan.”[2]
Sedangkan menurut H.M.N Purwosutjipto:
“Asuransi jiwa dapat diartikan sebagai pertanggungan jiwa adalah perjanjian timbal balik antara penutup (pengambil) asuransi dengan penanggung dengan mana penutup asuransi mengikatkan diri selama jalannya pertanggungan membayar uang premi kepada penanggung, sedangkan penanggung sebagai akibat langsung dari meninggalnya orang yang jiwanya dipertanggungkan atau telah lampaunya suatu jangka waktu yang diperjanjikan mengikat diri untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada orang yang ditunjuk untuk penutup asuransi sebagai penikmatnya. ”[3]
Volmar yang menyebut pertanggungan jiwa dengan istilah sommen verzekering, berpendapat bahwa:
“Secara luas sommen verzekering itu dapat diartikan sebagai suatu perjanjian dimana suatu pihak mengikatkan dirinya untuk membayar sejumlah uang secara sekaligus atau periodik, sedangkan pihak mengikatkan dirinya untuk membayar premi dan pembayaran itu adalah tergantung kepada hidup atau matinya seseorang tertentu atau lebih.”[4]

Santoso Poejosoebroto memberikan pengertian asuransi sebagai berikut:
“Asuransi pada umumnya adalah suatu perjanjian timbal balik dalam mana pihak penanggung dengan menerima premi mengikatkan diri untuk memberikan pembayaran kepada pengambil asuransi atau orang yang ditunjuk, karena terjadinya peristiwa yang belum pasti. Yang disebutkan di dalam perjanjian, baik karena pengambil asuransi atau tertunjuk menderita kerugian yang disebabkan oleh peristiwa lain, maupun karena peristiwa tadi mengenai hidup dan kesehatan.”[5] Makna asuransi jiwa dapat dilihat dari segi jaminan, segi sosial, segi ekonomi, dan segi finansial.
Dari segi jaminan, asuransi jiwa merupakan asuransi dengan manusia sebagai kepentingan interest yang diasuransikan berbeda dengan asuransi kerugian, dengan harta benda sebagai kepentingan yang diasuransikan, dengan membayar premi setiap tahun atau selama suatu jangka waktu terbatas, seseorang tertanggung sebagai imbalan dari premi yang dibayarkan kepada penanggung menerima jaminan yaitu :
-     Pada hari tua tertanggung akan diberikan sejumlah uang sebagai santunan biaya hidup.
-     Bila tertanggung meninggal dunia, akan diberikan sejumlah uang kepada ahli waris tertanggung sebagai santunan biaya hidup.
-     Bila tertanggung mengalami kecelakaan fisik, akan diberikan sejumlah uang santunan biaya hidup bila tertanggung menjadi cacat tetap/ biaya pengobatan.
Kemudian dari segi sosial, asuransi dapat diartikan sebagai suatu rencana sosial yang bertujuan memberikan santunan kepada orang yang menderita karena ditimpa musibah, yang santunannya diambil dari kontribusi yang dikumpulkan dari semua pihak yang berpartisipasi dalam rencana sosial itu.[6]
Sedangkan dari segi ekonomi, adalah suatu disiplin ilmu tentang usaha manusia mencari kepuasan guna memenuhi kebutuhan kesejahteraan hidup, dengan cara berusaha mencapai hasil maksimal dengan pengorbanan minimal, namun upaya manusia untuk mencari dan memenuhi kebutuhan hidup tidak selalu berhasil karena setiap upaya maupun perbuatan mengandung resiko. Jadi pada hakekatnya asuransi jiwa merupakan pelimpahan resiko oleh tertanggung kepada penanggung agar kerugian yang diderita oleh tertanggung dijamin oleh penanggung.[7]
Kemudian dari segi finansial, perusahaan asuransi menghimpun dana dari para tertanggung dalam bentuk premi. Dari dana yang terkumpul itu, sebagian untuk dana klaim, dan bagian yang lainnya diinvestasikan dalam bentuk deposito, dalam surat-surat berharga (saham, obligasi) dalam aktiva tetap seperti kantor, dan rumah untuk disewakan sehingga memperoleh penghasilan.[8] Dari beberapa pengertian tentang asuransi jiwa yang dikemukakan oleh para pakar hukum di atas ada beberapa hal yang sebenarnya harus ada dalam suatu asuransi jiwa. Dimana asuransi jiwa tersebut merupakan perjanjian timbal balik antara penanggung dengan tertanggung yang bertujuan untuk mengatasi resiko atau peristiwa yang dapat merugikannya.

2.    DASAR HUKUM
Menurut Pasal 246 KUHDagang:
“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian, di mana penanggung mengikat diri terhadap tertanggung dengan memperoleh premi, untuk memberikan kepadanya ganti rugi karena suatu kehilangan, kerusakan, atau tidak mendapat keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dapat diderita karena suatu peristiwa yang tidak pasti.”
Pasal 302 KUHDagang sebagai dasar asuransi jiwa, menyatakan bahwa:
Jiwa seseorang dapat dipertanggungkan untuk keperluan orang yang berkepentingan, baik untuk selama hidup ataupun untuk suatu waktu yang ditentukan dengan perjanjian.”
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian:
“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.”
Peraturan perundangan yang digunakan sebagai dasar hukum pembinaan dan pengawasan usaha perasuransian di Indonesia saat ini:
1.    UU Nomor 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian,
2.    PP Nomor 73 tahun 1002 tentang Usaha Perasuransian,
3.    Keputusan Menteri Keuangan, antara lain:
a.    Nomor 223/KMK.017/1993 tanggal 26 Februari 1993 tentang Perizinan Perusahaan Asuransi dan Reasuransi,
b.    Nomor 224/KNE.017/1993 tanggal 26 Februari 1993 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Reasuransi,
c.    Nomor 225/KMK.017/1993 tanggal 26 Februari 1993 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Reasuransi,
d.   Nomor 226/CMK.017/1993 tanggal 26 Februari 1993 tentang Perizinan dan Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi.

3.    SEJARAH
Sejarah mengenai asuransi jiwa sudah tercatat sejak 2000 tahun yang lalu ketika sekelompok orang di kerajaan Romawi membentuk perkumpulan kematian yang memberikan bantuan dana bagi keluarga dari anggota perkumpulan tersebut yang meninggal dunia . Sayang , tidak ada catatan yang lebih akurat yang menunjukkan secara persis bagaimana mereka mengelola dan mengoperasikan perkumpulan kematian tersebut.
Polis pertama di dunia yang tercatat secara baik. Di terbitkan di Inggris pada tanggal 15 Juli 1583 atas nama William Gybbons , seorang pedagang garam warga London yang ketakutan akan desas-desus wabah penyakit menular yang berjangkit saat itu. Gybbons meminta pertanggungan sebesar £400 untuk masa perlindungan selama satu tahun dan membayar £32 sebagai imbalan kepada pihak penanggung, yaitu sekelompok pemilik uang yang biasa berkumpul disebuah kedai kopi.
Dasar dari pembelian asuransi jiwa oleh William Gybbons pada saat itu adalah tersiarnya berita dari mulut-kemulut yang mengatakan bahwa selama 70 tahun akan terjangkit penyakit menular yang menyerang kota London dan sekitarnya selama lima kali . Setiap kali penyakit tersebut menyerang, setidaknya 20% dari jumlah penduduk london akan meninggal dunia.
Untuk mengurangi kepanikan warga, pada tahun 1603 pemerintah kota London menerbitkan Bills of Mortality untuk membuktikan bahwa kematian yang sesungguhnya terjadi tidaklah sebesar desas-desus yang ada. Dalam perkembangannya Bills of Mortality merupakan dasar dari Tible of Montality yang sekarang dikenal dalam asuransi jiwa.
Pada masa awal perkembangan asuransi jiwa, proses underwriting lebih banyak dilakukan oleh individu daripada dilakukan oleh sebuah perusahaan. Juga merupakan praktek yang umum dilakukan pada masa itu bahwa seseorang mengambil polis atas diri orang kaya atau terkenal dengan harapan apabila orang tersebut meninggal dunia maka si pemegang polis akan mendapatkan keuntungan. Dalam kacamata saat ini, hal semacam itu lebih merupakan sebuah bentuk perjudian. 
Perusahaan asuransi dalam arti sebenarnya, pertama kali didirikan oleh Dr.Assheton pada tanggal 4 Oktober 1699. Sayangnya perusahaan itu hanya dapat bertahan selama 46 tahun karena mengalami kebangkrutan di kemudian hari. 
Dalam perkembangan selanjutanya, banyak perusahaan asuransi yang didirikan dalam bentuk mutual company yaitu perusahaan yang dimiliki secara bersama-sama oleh setiap pemegang polis di dalamnya. Dengan cara ini, sebuah polis biasanya tidak mencantumkan uang pertanggungan secara pasti sebagaimana polis yang dikenal saat ini, namun hanya menyebutkan manfaat yang kemungkinan akan dibayar sejalan dengan jumlah anggota yang berkurang karena meninggal dunia dari tahun ke tahun. 
Pada saat ini, perkembangan polis asuransi jiwa sudah jauh lebih maju. Hampir semua kontrak polis menyebutkan jumlah uang pertanggungan yang pasti dalam jumlah yang mungkin saja sangat besar. Selain itu, ada banyak sekali jenis asuransi jiwa sesuai dengan kebutuhan pribadi maupun bisnis. Tidak hanya produk asuransi yang murni memberikan perlindungan, tetapi juga dikaitkan dengan jenis-jenis investasi baru tertentu.

4.    RISIKO YANG DITANGGUNG
Ada banyak manfaat asuransi bagi masyarakat. Untuk mendapatkan manfaat yang sesuai, sebaiknya perlu mengenali bentuk risiko yang bisa ditanggung saat akan membeli asuransi jiwa. Risiko yang bisa ditanggung asuransi jiwa menurut Iskandar Kasir, ada beberapa kategori risiko yang bisa diasuransikan, yaitu:[9]
-        Kerugian terjadi secara kebetulan, di mana kerugian yang terjadi harus sesuatu yang tidak diharapkan ataupun tidak sengaja dilakukan, misalnya kecacatan akibat sakit atau kecelakaan.
-        Kerugiannya riil atau nyata, kerugiannya harus bisa dibatasi dengan waktu atau jumlah. Misalnya, sampai kapan polis dibayarkan atau berapa banyak yang harus ditanggung.
-        Kerugian harus berarti, kerugian yang terjadi bisa menimbulkan beban yang berat, misalnya akibat kecelakaan kerja, seseorang jadi tidak bisa bekerja selama satu tahun sehingga tak bisa mendapat penghasilan untuk menanggung hidup keluarganya.
-        Tingkat kerugian harus bisa diprediksi, seberapa besar kerugian yang akan ditanggung perusahaan asuransi harus bisa diperkirakan. Dengan begitu, premi yang harus dibayar pun bisa dihitung berapa besarnya.
-        Kerugiannya tidak menjadi bencana katastrofe (malapetaka besar yang datang tiba-tiba), perusahaan asuransi tidak akan menanggung risiko yang muncul akibat daerah tertentu sudah langganan banjir, dekat dengan gunung berapi, atau potensi kerap mengalami bencana lainnya.


5.    SAAT LAHIR DAN BERAKHIRNYA PERJANJIAN
Lahirnya perjanjian asuransi dimulai dengan perbuatan adanya negosiasi antara tertanggung dan perusahaan asuransi (dalam hal ini biasanya diwakili oleh agen suransi).keinginan untuk berjanji itu dilakukan dengan berbagai tahap administratif, yaitu :
1.      Calon tertanggung mengisi formulir yang sudah disiapkan oleh perusahaan asuransi (Surat Permintaan Asuransi Jiwa).
2.      Calon tertanggung membayar premi.
3.      Penanggung memeriksa Surat Permintaan Asuransi Jiwa dari calon tertanggung kemudian memberi jawaban menerima atau menolak. Saat penanggu menyatakan setuju terhadap Surat Permintaan Asuransi Jiwa dari calon tertanggung maka perjanjian asuransi dianggap lahir, meskipun polis belum diterbitkan.
4.      Polis asuransi ditandatangani (diterbitkan) oleh penanggung (penanggung asuransi).

6.    HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK
Pemegang polis ialah pihak yang kedudukannya sangat penting disamping penanggung. Sebab ia dapat menentukan kehendak secara bebas, apakah akan melanjutkan perjanjian pertanggungan atau akan menghentikannya.
Hak-hak dari pemegang polis meliputi: penebusan polis (Pasal 7 syarat-syarat polis), penggadaian polis (Pasal 8 syarat-syarat umum polis), menerima pembayaran faedah asuransi (Pasal 9), dan merubah pihak yang ditunjuk (Pasal 11), sedangkan hak penanggung adalah menerima pembayaran premi dari tertanggung.
Perjanjian asuransi jiwa adalah suatu persetujuan dua pihak dimana pihak tertanggung membayar premi sebagai prestasi, yang sebagai gantinya menerima ganti rugi dari penanggung. Pembayaran premi kepada pihak penanggung selama kontrak berjalan merupakan kewajiban dari pihak tertanggung/pemegang polis, sedangkan kewajiban pihak penanggung adalah membayar ganti kerugian.

7.    POLIS
Dalam pasal 255 KUHD disebutkan bahwa :
“Suatu pertanggungan harus dibuat secara tertulis dalam suatu akte yang dinamakan polis”.

Ketentuan tersebut di atas memberikan kesan seolah-seolah perjanjian asuransi jiwa harus dibuat secara tertulis sebagai syarat mutlak. Padahal polis bukanlah syarat mutlak adanya perjanjian asuransi jiwa, tetapi hanyalah merupakan alat bukti adanya perjanjian.
Hal tersebut dijelaskan dalam Pasal 257 KUHDagang yang menyatakan bahwa :
“Perjanjian pertanggungan diterbitkan seketika setelah ia ditutup, hak-hak dan kewajiban-kewajiban bertimbal balik dari si penanggung dan si tertanggung mulai berlaku semenjak saat itu, bahkan sebelum polisnya ditandatangani”.

Dalam hal ini berarti bahwa walaupun tidak ada polis (polis sebelum terbit), perjanjian asuransi jiwa tetap berlaku apabila telah ditutup (telah ada persesuaian kehendak) dan dapat dibuktikan dengan bukti-bukti lain, misalnya dengan kwintansi pembayaran premi.
Meskipun untuk sahnya suatu perjanjian asuransi jiwa menurut undang­undang tidak ada keharusan adanya formalitas tertentu (seperti akte tertulis yang disebut polis), namun sangatlah penting adanya akte yang demikian itu. Hal ini dengan mengingat bahwa perjanjian asuransi jiwa adalah berhubungan dengan kepentingan finansial dan perjanjian tersebut bersifat perjanjian kemungkinan. Oleh karena itu undang-undang sendiri hendaknya melindungi penanggung (perusahaan asuransi jiwa), dengan cara bahwa adanya perjanjian asuransi jiwa itu harus dibuktikan secara tertulis. Sehingga ditetapkan adanya akte yang ditandatangani penanggung yang disebut polis, sebagai bukti adanya perjanjian asuransi jiwa tersebut.
Polis menurut pengertian umum adalah suatu perjanjian yang perlu dibuat bukti tertulis atau suatu perjanjian antara pihak-pihak yang mengadakan perjanjian-perjanjian bukti tertulis untuk perjanjian asuransi.
Surat perjanjian ini dibuat dengan itikad baik dari kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian. Di dalam surat perjanjian itu disebutkan dengan tegas dan jelas mengenai hal-hal yang diperjanjikan kedua belah pihak, hak-hak masing­masing pihak, sanksi atas pelanggaran perjanjian dan sebagainya.
Kemudian polis dapat juga diartikan surat perjanjian asuransi jiwa yang menguraikan hal-hal yang menjadi dasar dan syarat-syarat asuransi, ditandatangani oleh penanggung dan pemegang polis. Dari pengertian di atas bahwa polis asuransi merupakan salah satu dari alat bukti telah terjadi perjanjian asuransi. Pada dasarnya pengertian polis asuransi jiwa sama dengan pengertian polis pada umumnya.
Perbedaan polis asuransi jiwa dengan polis asuransi pada umumnya hanya dari isi polis, dimana isi polis asuransi jiwa diatur dalam Pasal 304 KUHDagang dan isi polis pada umumnya diatur dalam Pasal 256 KUHDagang.
Menurut Pasal 304 KUHDagang, polis asuransi jiwa harus memuat hal-hal sebagai berikut :
-        Hari diadakan asuransi
-        Nama tertanggung
-        Nama orang yang jiwanya diasuransikan
-        Saat mulai dan berakhirnya evenemen
-        Jumlah asuransi
-        Premi asuransi
Sedangkan menurut polis dari pertanggungan perorangan PT. Asuransi Jiwasraya, yaitu :
-        Dasar permintaan asuransi dari calon pemegang polis atas penawaran yang dilakukan PT. Asuransi Jiwasraya (melalui brosur-iklan atau agen perusahaan), dengan adanya kalimat “Berdasarkan Surat Permintaan tanggal...”
-        Nama Pemegang Polis
-        Nama Tertanggung
-        Macam Asuransi
-        Besarnya Uang Asuransi
-        Berlakunya Asuransi
-        Premi (besarnya, periode pembayaran dan cara pembayaran)
-        Penerima faedah yang ditunjuk (menurut urutannya)
Sekarang kita perbandingkan isi polis menurut undang-undang (KUHD) dengan isi polis yang berlaku dalam praktek pada PT. Asuransi Jiwasraya. Jika kita perhatikan isi polis seperti polis PT. Asuransi Jiwasraya, maka dapat diberikan catatan sebagai berikut :
-        Hari ditutupnya pertanggungan (butir 1 Pasal 304 KUHD) tidak disebutkan di dalam polis (Surat Permintaan tanggal), tidak dapat dianggap sebagai hari ditutupnya pertanggungan. Karena seperti telah dikatakan, bahwa Surat Permintaan itu baru merupakan penawaran dari pihak pemegang polis. Penerimaan penawarannya adalah pada tanggal yang dinyatakan dalam Non-Penutupan.
-        Nama si Tertanggung (butir 2 Pasal 304 KUHDagang), seharusnya disebutkan: nama pemegang polis (titik 2 polis PT. Asuransi Jiwasraya). Sebab pemegang polis yang menjadi kontrakan, walaupun mungkin saja ia juga sekaligus menjadi tertanggung (dalam hal pemegang polis mempertanggungkan dirinya sendiri).
-        Nama orang yang jiwanya dipertangungkan (butir 3 Pasal 304 KUHDagang), maksudnya adalah nama tertanggung (titik polis PT. Asuransi Jiwasraya).
-        Macam asuransi (butir 4 polis PT. Asuransi Jiwasraya), tidak ada disebutkan dalam Pasal 304 KUHDagang, hal ini merupakan perkembangan di dalam praktek, yang memerlukan pencantumannya di dalam polis.
-        Saat mulai dan berakhirnya bahaya bagi si Penanggung (butir 4 Pasal 304 KUHDagang) adalah sama dengan berlakunya asuransi (butir 6 polis PT. Asuransi Jiwasraya)
-        Yang ditunjuk untuk menerima faedah asuransi (butir 8 Pasal 304 KUHDagang) tidak disebutkan di dalam Pasal 304 KUHDagang. Padahal pihak yang ditunjuk untuk menerima faedah (uang) asuransi ini atau tertunjuk adalah sangat penting, karena untuk kepentingan tertunjuk inilah perjanjian asuransi jiwa itu sebenarnya diadakan. Oleh karena itu pencantumannya di dalam polis mutlak harus ada.
Pada halaman belakang polis PT. Asuransi Jiwasraya terdapat ruang catatan, dengan keterangan :
-        Semua catatan yang tercantum di dalam ruang ini maupun yang terdapat dalam lampiran-lampiran polis ini adalah bagian mutlak dari perjanjian ini.
-        Perjanjian ini dibuat berdasarkan surat permintaan pemegang polis dan jika tidak diadakan ketentuan-ketentuan dan atau perubahan-perubahan yang dicantumkan di dalam polis ini, maka berlakulah syarat-syarat umum asuransi jiwa terlampir yang merupakan bagian mutlak yang tidak dapat dipisahkan dari perjanjian ini.
Ruang catatan yang dimaksud untuk mencantumkan hal-hal atau keterangan-keterangan yang penting yang menyangkut ketentuan-ketentuan (tambahan) atau perubahan-perubahan terhadap kontrak asuransi. Selain itu tentang polis diatur di dalam Pasal 305 KUHDagang yang menyatakan tentang perkiraan jumlah uang mana diadakan pertanggungan tersebut dan penentuan tentang syarat-syarat pertanggungan itu diserahkan sama sekali kepada persetujuan kedua belah pihak.
Dari uraian di atas dapat kita lihat polis asuransi jiwa diatur sendiri dalam Pasal 304 KUHDagang, namun dapat kita lihat Pasal 304 KUHDagang mengenai isi polis asuransi jiwa tidak baku, karena masing-masing perusahaan asuransi jiwa mempunyai isi polis tersendiri yang sebenarnya tidak bertentangan dengan bentuk baku Pasal 304 KUHDagang.
Dalam polis dijelaskan apa yang menjadi hak dan kewajiban pemegang polis serta hak dan kewajiban dari perusahaan asuransi jiwa.


DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Hukum Asuransi Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 1989.
Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertanggungan, Hukum Dagang, Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM, 1975.
H.M.N Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang, Jilid 6 Hukum Perdagangan, Jakarta: Djambatan, 1992.
Iskandar Kasir dkk, dalam bukunya Dasar-dasar Asuransi Jiwa, Kesehatan, dan Anuitas, Jakarta: AAMAI, 2011.
Santoso Poejosoebroto, Beberapa Aspek Tentang Hukum Pertanggungan Jiwa di Indonesai, Jakarta: Bharata, 1969.
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia, Jakarta: Intermasa, 1996.

Peraturan Perundang-undangan:
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Kitab Undang-undang Hukum Dagang
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian



[1]     Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Hukum Asuransi Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1989), hal 265.
[2]     Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia, (Jakarta: Intermasa, 1996), hal.12.
[3]     H.M.N Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang, Jilid 6 Hukum Perdagangan, (Jakarta: Djambatan, 1992), hal 9.
[4]      Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertanggungan, Hukum Dagang, (Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM, 1975), hal 91.
[5]     Santoso Poejosoebroto, Beberapa Aspek Tentang Hukum Pertanggungan Jiwa di Indonesai, (Jakarta: Bharata, 1969)
[6]     Ibid, hal 271
[7] Ibid, hal 273
[8] Ibid, hal 274
[9]     Iskandar Kasir dkk, dalam bukunya Dasar-dasar Asuransi Jiwa, Kesehatan, dan Anuitas (Jakarta: AAMAI, 2011), hal 24-28.

4 komentar:

Popular Posts