Hukum Transportasi

Hukum Pengangkutan Indonesia diatur di dalam...

Transportasi Darat

Selengkapnya...

Transportasi Laut

Selengkapnya...

Transportasi Udara

Selengkapnya...

Saluran Pipa

Selengkapnya...

Kamis, 23 April 2015

TANGGUNG JAWAB PT. KERETA API INDONESIA



TANGGUNG JAWAB PT. KERETA API INDONESIA
DALAM PENYELENGGARAAN PENGANGKUTAN PENUMPANG
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2007
TENTANG PERKERETAAPIAN


Pendahuluan

Pengangkutan merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari rangkaian sistem perekonomian. Perekonomian tidak akan berjalan secara maksimal tanpa didukung oleh sektor pengangkutan (transportation) yang kuat. Demikian pula dengan sektor angkutan darat yang terdiri dari dua jenis yaitu angkutan jalan raya untuk truk dan bus dan angkutan jalan rel untuk kereta api. Khusus untuk pengangkutan kereta api di Indonesia sampai saat ini diselenggarakan dan dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah melalui PT. Kereta Api Indonesia (selanjutnya disebut PT. KAI).

Penyelenggaraan angkutan kereta api untuk beberapa daerah tertentu di Indonesia memang kurang populer bahkan ada daerah-daerah yang tidak mempunyai jenis transportasi dengan moda kereta api. Tetapi bagi kita yang bertempat tinggal di pulau Jawa dan Provinsi Sumatera Utara khususnya, angkutan kereta api merupakan  salah satu jenis moda transportasi yang sangat banyak peminatnya mengingat armada kereta api ini memiliki keistimewaan jika dibandingkan dengan truk atau bus bahkan pesawat, yaitu kereta api dapat mengangkut penumpang dan atau barang dalam jumlah yang besar secara sekaligus dalam satu kali perjalanan dengan biaya angkutan (charges, expenses) yang lebih murah daripada moda transportasi lainnya. Meskipun tetap ada kelemahannya, yaitu dalam daya jangkau lokasi atau tempat tujuan yang diinginkan hanya terbatas pada tempat-tempat yang telah ditentukan, hal ini disebabkan karena keterbatasan dalam prasarana (infrastructure) angkutan kereta api diantaranya keterbatasan dalam jalur rel kereta api, stasiun dan fasilitas operasi kereta api.

Penyelenggaraan angkutan kereta api pada dasarnya sama dengan penyelenggaraan angkutan jenis yang lain, yang diawali dengan adanya suatu perjanjian pengangkutan antara penumpang dan atau pengirim barang dengan pihak PT. KAI. Para pihak dalam perjanjian pengangkutan masing-masing mempunyai hak dan kewajiban dan tanggung jawab. Perjanjian pengangkutan tersebut harus memenuhi syarat-syarat sah suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUH Pdt) dan syarat-syarat khusus yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 Tentang Perkeretaaapian (selanjutnya disingkat UUKA 2007).

UUKA 2007 ini merupakan peraturan yang baru dikeluarkan oleh pemerintah dengan tujuan untuk pembenahan dan penyempurnaan dari peraturan yang berlaku sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 Tentang Perkeretaapian.

Penyelenggaraan Pengangkutan Dengan Kereta Api

Perkeretaapian menurut fungsinya terdiri dari perkeretaapian umum dan perkeretaapian khusus. Perkeretaapian umum adalah perkeretaapian yang digunakan untuk melayani angkutan orang dan/atau barang dengan dipungut bayaran, yang terdiri dari perkeretaapian perkotaan dan perkeretaapian antar kota, sedangkan perkeretaapian khusus adalah kereta api yang digunakan secara khusus oleh badan usaha tertentu untuk menunjang kegiatan pokok badan usaha tersebut.

Menurut kegunaannya, kereta api terbagi atas dua jenis, yaitu kereta api yang digunakan khusus untuk mengangkut barang (gerbong barang) dan kereta api yang digunakan khusus untuk mengangkut penumpang (gerbong penumpang). Setiap sarana dan prasarana perkeretaapian umum yang dioperasikan harus memenuhi standar kelaikan operasi dan memenuhi persyaratan keselamatan sebagaimana diatur dalam Pasal 20 dan Pasal 27 UUKA 2007. Yang dimaksud dengan memenuhi persyaratan kelaikan adalah kondisi prasarana siap operasi dan secara teknis aman untuk dioperasikan. Untuk menjamin kelaikan prasarana perkeretaapian, wajib dilakukan pemeriksaan dan pengujian untuk pertama kali dioperasikan dan pengujian secara berkala oleh Pemerintah dan dapat dilimpahkan kepada badan hukum atau lembaga yang mendapat akreditasi dari Pemerintah. Prasarana yang telah lulus dari pengujian akan diberikan sertifikat kelaikan operasi.

Penyelenggara sarana perkeretaapian wajib melakukan perawatan atas sarana perkeretaapian agar tetap laik operasi. Pengoperasian sarana perkeretaapian wajib dilakukan oleh Awak Sarana Perkeretaapian yang memenuhi persyaratan dan kualifikasi kecakapan yang dibuktikan dengan sertifikat kecakapan setelah lulus pendidikan dan pelatihan.

Perkeretaapian dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah. Penyelenggaraan angkutan kereta api dilakukan dengan suatu perjanjian pengangkutan antara pihak pengangkut dengan penumpang dan atau pengirim barang, oleh karena itu perjanjian pengangkutan kereta api dibedakan atas dua bentuk yaitu, perjanjian pengangkutan penumpang dan perjanjian pengangkutan barang.

PT. KAI menerbitkan dokumen angkutan berupa karcis penumpang dan surat muatan barang. Karcis penumpang berfungsi sebagai tanda bukti terjadinya perjanjian pengangkutan penumpang, ketentuan ini diatur dalam Pasal 132 ayat (3) UUKA 2007, sedangkan surat muatan berfungsi sebagai tanda bukti terjadinya perjanjian pengangkutan barang. 

Dalam penyelenggaraan pengangkutan PT. KAI menyediakan beberapa jenis pelayanan, diantaranya kelas ekonomi, kelas bisnis dan kelas eksekutif. Setiap keberangkatan disediakan 8 sampai 9 gerbong penumpang dengan kapasitas muatan 80 sampai 100 orang penumpang pada setiap gerbongnya. Biaya atau tarif angkutan yang dikenakan kepada penumpang berbeda untuk setiap kelas. Tarif angkutan penumpang ditetapkan oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah. Pedoman penetapan tarif angkutan dilakukan berdasarkan perhitungan modal, biaya operasi dan keuntungan, ketentuan ini terdapat pada Pasal 151 ayat (3) UUKA 2007.

Hak Dan Kewajiban Pihak Pengangkut Dan Pihak Penumpang

Sebagaimana dalam setiap perjanjian terdapat hak dan kewajiban dari para pihak yang berjanji, demikian pula halnya dalam perjanjian pengangkutan kereta api terdapat hak dan kewajiban dari pihak penyelenggara angkutan dan pihak penumpang.  

Menurut Pasal 132 ayat (1) UUKA 2007, Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib mengangkut orang yang telah memiliki karcis. Setiap penumpang yang telah memiliki karcis berhak memperoleh pelayanan sesuai dengan tingkat pelayanan yang dipilih. Kewajiban pihak pengangkut ini merupakan kontra prestasi atas hak yang dimiliki oleh penumpang yang telah membayar biaya pengangkutan dan memiliki karcis sebagai bukti telah terjadinya perjanjian pengangkutan kereta api.

Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib memberikan fasilitas khusus dan kemudahan bagi penyandang cacat, wanita hamil, anak di bawah lima tahun, orang sakit dan orang lanjut usia, tanpa dipungut biaya tambahan (Pasal 131 UUKA 2007).
Pelayanan yang diberikan oleh PT. KAI dalam menyelenggarakan pengangkutan orang harus memenuhi standar pelayanan minimum, yang meliputi pelayanan di stasiun keberangkatan, dalam perjalanan dan di stasiun tujuan.

Dalam penyelenggaran pengangkutan orang, Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib untuk :
a.    mengutamakan keselamatan dan keamanan orang;
b.    mengutamakan pelayanan kepentingan umum;
c.    menjaga kelangsungan pelayanan pada lintas yang ditetapkan;
d.   mengumumkan jadwal perjalanan kereta api dan tarif angkutan kepada masyarakat;
e.    mematuhi jadwal keberangkatan kereta api.

PT. KAI wajib mengumumkan kepada penumpang jika terjadi pembatalan dan penundaan keberangkatan, keterlambatan kedatangan atau pengalihan pelayanan lintas kereta api disertai dengan alasan yang jelas (Pasal 133 ayat (2) 2007 UUKA).

Jika terjadi pembatalan keberangkatan kereta api, maka PT. KAI wajib mengganti seluruh biaya yang telah dibayarkan oleh penumpang untuk membeli karcis. Apabila penumpang sendiri yang membatalkan keberangkatannya dan tidak ada melapor kepada petugas PT. KAI sampai batas waktu keberangkatan yang ditetapkan, maka biaya pengangkutan yang telah dibayar oleh penumpang tidak akan dikembalikan kepada penumpang, tetapi jika penumpang melapor kepada petugas sebelum batas waktu keberangkatan yang telah dijaadwalkan, maka biaya yang telah dibayar oleh penumpang akan dikembalikan sebesar 75 % (tujuh puluh lima persen) dari harga karcis. Apabila kereta api tidak dapat melanjutkan perjalanannya hingga sampai di stasiun tujuan yang disepakati disebabkan karena adanya haambatan atau gangguan yang tidak diduga sebelumnya, maka PT. KAI wajib :
a.    menyediakan angkutan dengan kereta api lain atau moda transportasi lain sampai stasiun tujuan; atau
b.    memberikan ganti kerugian senilai harga kaarcis.

Apabila PT. KAI tidak menyediakan angkutan dengan kereta api lain atau moda transportasi lain hingga sampai stasiun tujuan atau tidak mengganti kerugian senilai harga karcis, maka PT. KAI sebagai penyelenggara angkutan dikenai sanksi administratif berupa pembekuan izin operasi atau pencabutan izin operasi (Pasal 135 UUKA 2007).  

Dalam kegiatan pengangkutan penumpang, menurut Pasal 136 ayat (1) UUKA 2007, pihak Penyelenggara Sarana Perkeretaapian juga berwenang untuk :

a.    memeriksa karcis;
b.    menindak pengguna jasa yang tidak memiliki karcis;
c.    menertibkan pengguna jasa atau masyarakat yang mengganggu perjalanan kereta api;
d.   melaksanakan pengawasan dan pembinaan terhadap masyarakat yang berpotensi menimbulkan gangguan terhadap perjalanan kereta api.

Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dalam keadaan tertentu dapat membatalkan perjalanan kereta api jika terdapat hal-hal yang dapat membahayakan keselamatan, ketertiban dan kepentingan umum.

Tanggung Jawab PT KAI Terhadap Penumpang Sebagai Sarana Penyelenggara Perkeretaapian

Sebagai pihak Penyelenggara Sarana Perkeretaapian PT. KAI mempunyai tanggung jawab untuk menjaga keselamatan penumpang atau pengguna jasa perkeretaapian. Dalam hal tanggung jawab ini, terdapat dua bentuk yang dibedakan antara tanggung jawab pihak Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian dan pihak Penyelenggara Sarana Perkeretaapian. Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian adalah pihak yang menyelenggarakan prasarana perkeretaapian berupa penyelenggaraan prasarana perkeretaapian dan/atau sarana perkeretaapian, sedangkan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian adalah badan usaha yang mengusahakan sarana perkeretaapian umum yang saat ini dilaksanakan oleh PT. KAI.

Penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum dilakukan oleh Badan Usaha sebagai penyelenggara, baik secara sendiri-sendiri maupun melalui kerja sama. Dalam hal tidak ada Badan Usaha yang menyelenggarakan prasarana perkeretaapian umum, maka Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat menyelenggarakan prasarana perkeretaapian umum (Pasal 23 UUKA 2007).

Badan Usaha yang menyelenggarakan prasarana perkeretaapian umum wajib memiliki izin usaha yang diterbitkan oleh pemerintah, izin pembangunan dan izin operasi.

Tanggung Jawab Pihak Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian

Adapun yang menjadi tanggung jawab dari Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian sebagaimana diatur dalam Pasal 87 UUKA 2007, antara lain sebagai berikut :
1.    Penyelenggara Sarana Perkeretaapian bertanggung jawab kepada Penyelenggaran Sarana Perkeretaapian dan pihak ketiga atas kerugian sebagai akibat kecelakaan yang disebabkan kesalahan pengoperasian prasarana perkeretaapian. Tanggung jawab ini dilakukan dengan memberikan ganti rugi yang dihitung berdasarkan kerugian yang secara nyata dialami.
2.    Tanggung jawab Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian kepada Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dilakukan berdasarkan perjanjian kerja sama antara kedua belah pihak.
3.    Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian bertanggungjawab kepada pihak ketiga atas kerugian harta benda, luka-luka atau meninggal dunia yang disebabkan oleh penyelenggaraan prasarana perkeretaapian.
4.    Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian bertanggungjawab terhadap Petugas Prasarana Perkeretaapian yang mengalami luka-luka atau meninggal dunia yang disebabkan oleh pengoperasian prasarana perkeretaapian.

Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian tidak bertanggungjawab terhadap kerugian yang diderita oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dan/atau pihak ketiga yang disebabkan oleh pengoperasian prasarana perkeretaapian apabila :
1.    pihak yang berwenang menyatakan bahwa kerugian bukan disebabkan kesalahan pengoperasian prasarana perkeretaapian;
2.    terjadi keadaan memaksa.

Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian berhak dan berwenang untuk :
1.    mengatur, mengendalikan dan mengawasi perjalanan kereta api;
2.    menghentikan pengoperasian sarana perkeretaapian apabila dapat membahayakan perjalanan kereta api;
3.    melakukan penertiban terhadap pengguna jasa kereta api yang tidak memenuhi persyaratan sebagai pengguna jasa kereta api di stasiun;
4.    mendahulukan perjalanan kereta api di perpotongan sebidang dengan jalan;
5.    menerima pembayaran dari penggunaan prasarana perkeretaapian; dan
6.    menerima ganti kerugian atas kerusakan prasarana perkeretaapian yang disebabkan oleh kesalahan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian atau pihak ketiga.
Dalam rangka untuk melaksanakan tanggung jawabnya, pihak Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian wajib mengasuransikan tanggung jawabnya terhadap Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dan pihak ketiga (Pasal 166 UUKA 2007).
 
Tanggung Jawab Pihak Penyelenggara Sarana Perkeretaapian (PT. KAI) Terhadap Pengguna Jasa

Menurut Pasal 157 UUKA 2007 Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dalam hal ini PT. KAI mempunyai tanggung jawab kepada pengguna jasa yaitu penumpang, antara lain sebagai berikut :
1.    Penyelenggara Sarana Perkeretaapian bertanggungjawab terhadap pengguna jasa yang mengalami kerugian, luka-luka atau meninggal dunia yang disebabkan oleh pengoperasian angkutan kereta api;
2.    Tanggung Jawab ini dimulai sejak pengguna jasa diangkut dari stasiun asal sampai dengan stasiun tujuan yang disepakati;
3.    Tanggung jawab ini berupa ganti kerugian yang dihitung berdasarkan kerugian yang nyata dialami;
4.    Penyelenggara Sarana Perkeretaapian tidak bertanggung jawab atas kerugian, luka-luka atau meninggalnya penumpang yang tidak disebabkan oleh pengoperasian angkutan kereta api.

Selain tanggung jawab terhadap pengguna jasa, PT. KAI juga bertanggung jawab terhadap kerugian yang dialami pihak ketiga yang dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan karena pengoperasian angkutan kereta api. Tetapi, apabila pihak ketiga tidak dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh kesalahan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian, maka PT. KAI tidak bertanggung jawab atas kerugian tersebut (Pasal 159 ayat (1) UUKA 2007).

Hak untuk mengajukan keberatan dan permintaan ganti kerugian dari pihak ketiga kepada Penyelenggara Sarana Perkeretaapian disampaikan selambat-lambatnya 30 (tigapuluh) hari terhitung sejak tanggal terjadinya kerugian.

Untuk meminimalisir resiko ganti rugi dan melaksanakan tanggung jawabnya, menurut Pasal 167 UUKA 2007, PT. KAI sebagai Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib mengasuransikan tanggung jawabnya terhadap pengguna jasa dan besarnya nilai pertanggungan paling sedikit harus sama dengan nilai ganti kerugian yang diberikan kepada pengguna jasa yang menderita kerugian sebagai akibat pengoperasian kereta api.

Penyelenggara Sarana Perkeretaapian juga wajib mengasuransikan kerugian yang diderita oleh pihak ketiga sebagai akibat pengoperasian angkutan kereta api (Pasal 169 ayat (3) UUKA 2007).

Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya akan dikenai sanksi administratif berupa pembekuan izin operasi atau pencabutan izin operasi (Pasal 168 UUKA 2007).

PT. KAI juga wajib mengasuransikan awak sarana perkeretaapian dan sarana perkeretaapian. Dalam melaksanakan tanggung jawab terhadap pihak ketiga, maka PT. KAI juga wajib mengasuransikan kerugian yang diderita oleh pihak ketiga sebagai akibat pengoperasian angkutan kereta api (Pasal 169 UUKA 2007).

Hak dan Tanggung Jawab dari Pihak Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian dan Pihak Penyelenggara Sarana Perkeretaapian

Dalam hal terjadi kecelakaan kereta api, menurut Pasal 125 UUKA 2007, Pihak Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian dan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian harus melakukan hal-hal sebagai berikut :
1.    mengambil tindakan untuk kelancaran dan keselamatan lalu lintas;
2.     menangani korban kecelakaan;
3.    memindahkaan penumpang, bagasi dan barang antaran ke kereta api lain  atau moda transportasi laian untuk meneruskan perjalanan sampai stasiun tujuan;
4.    melaporkan kecelakaan kepada Menteri, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota;
5.    mengumumkan kecelakaan kepada pengguna jasa dan masyarakat;
6.    segera menormalkan kembali lalu lintas kereta api setelah dilakukan penyidikan awal oleh pihak berwenang; dan
7.    mengurus klaim asuransi korban kecelakaan.

Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian dan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian berhak menuntut ganti rugi kepada pihak yang menimbulkan kerugian terhadap prasarana perkeretaapian, sarana perkeretaapian dan orang yang dipekerjakan (Pasal 170 UUKA 2007).

Ketentuan lebih lanjut mengenai asuransi dan ganti kerugian Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian dan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian terhadap pengguna jasa, awak, pihak ketiga dan sarana perkeretaapian diatur dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 171 UUKA 2007).

Penutup

UUKA 2007 mengatur tentang tanggung jawab dari dua pihak yaitu Pihak Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian dan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian terhadap pengguna jasa, awaknya dan pihak ketiga. Tanggung jawab tersebut meskipun demikian luas namun tetap masih dibatasi dengan adanya ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang pembatasan tanggung jawab, diantaranya yaitu ketentuan tentang kewajiban dari Pihak Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian dan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian untuk mengasuransikan tanggung jawabnya dan ketentuan tentang adanya kewajiban untuk memberikan pembuktian dari pihak pengguna jasa, awak maupun pihak ketiga bahwa kerugian yang diderita adalah akibat dari pengoperasian angkutan kereta api.

Daftar Pustaka

Adji, Sution Usman, Hukum Pengangkutan di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta), 1990.
Muhammad, Abdulkadir, Hukum Pengangkutan Niaga, (Bandung: Citra Aditya Bakti), 1998.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 Tentang Perkeretaapian.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 Tentang Perkeretaapian.
Republik Indonesia, Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 Tentang Perkeretaapian.


Sumber:

Kamis, 02 April 2015

Ketentuan Pengangkutan Laut dalam KUHD, UU Pelayaran dan Peraturan Pemerintah tentang Angkutan di Perairan




PENGANGKUTAN LAUT (KUHD)
1      Pengertian
Sifat dasar dari perjanjian pengangkutan merupakan perjanjian campuran (jasa dan pemborongan), timbal balik (para pihak mempunyai kewajiban untuk melakukan dan berhak memperoleh prestasi) dan konsensual (perjanjian pengangkutan sah terjadinya kesepakatan)
2. Para Pihak:
·       Pengangkut
·       Pengusaha kapal
·       PEngangkut yang bukan pengusaha kapal
·       Pihak yang mencarterkan (Vervrachter)
·       Pihak Pencarter (bevrachter)

3. Pengangkut
Pasal 466 KUHD:
Ia yang mengikatkan diri dengan perjanjian carter waktu carter perjalanan dan pengangkutan barang potongan
Kewajiban dan Tanggung Jawab Pengangkut
Pasal 467:
Pengangkut dalam batas-batas yang layak, bebas dalam memilih alat pengangkutannya, kecuali bila diperjanjikan suatu alat pengangkutan tertentu.
Pasal 468:
Perjanjian pengangkutan menjanjinkan pengangkut untuk menjaga keselamatan barang yang harus diangkut dari saat penerimaan sampai saat penyerahannya.
Pengangkut harus mengganti kerugian karena tidak menyerahkan seluruh atau sebagian barangnya atau karena ada kerusakan, kecuali bila Ia membuktikan bahwa tidak diserahkannya bamng itu seluruhnya atau sebagian atau kerusakannya itu adalah akibat suatu keiadian yang selayaknya tidak dapat dicegah atau dihindarinya, akibat sifatnya, keadaannya atau suatu cacat barangnya sendiri atau akibat kesalahan pengirim.
Ia bertanggungjawab atas tindakan orang yang dipekerjakannya, dan terhadap benda yang digunakannya dalam pengangkutan itu
Pasal 470.
Pengangkut tidak bebas untuk mempersyaratkan, bahwa ia tidak bertanggungjawab atau bertanggungjawab tidak lebih daripada sampai jumlah yang terbatas untuk kerugian yang disebabkan karena kurang cakupnya usaha untuk pemeliharaan, periengkapan atau pemberian awak untuk alat pengangkutnya, atau untuk kecocokannya bagi pengangkutan yang diperjanjikan, maupun karena perlakuan yang keliru atau penjagaan yang kurang cukup terhadap barang itu. Persyaratan yang bermaksud demikian adalah batal.
Namun pengangkut berwenang untuk mempersyaratkan, bahwa ia tidak akan bertanggungjawab untuk tidak lebih dari suatu jumlah tertentu atas tiap-tiap barang yang diangkut, kecuali bila kepadanya diberitahukan tentang sifat dan nilai barangnya sebelum atau pada waktu penerimaan. Jumlah ini tidak boleh ditetapkan lebih rendah dari f. 600,-.
Pengangkut di samping itu dapat mempersyaratkan, bahwa ia tidak wajib mengganti kerugian, bila kepadanya diberitahukan sifat dan nilai barangnya dengan sengaja secara keliru.
Pasal 470a.
Persyaratan untuk membatasi tanggung jawab pengangkut dalam hal apa pun tidak membebaskannya untuk membuktikan, bahwa untuk pemelihaman, perlengkapan atau pemberian awak untuk alat pengangkutan yang diperja4ikan telah cukup diusahakan, bila ternyata, bahwa kerugian itu adalah akibat dari cacat alat pengangkutannya atau tatanannya.
Pasal 477.
Pengangkut bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan oleh penyerahan barang yang terlambat, kecuali bila ia membuktikan, bahwa kelerlambatan itu adalah akibat suatu kejadian yang selayaknya tidak dapat dicegah atau dihindarinya.

Pengusaha Kapal
Pasal 320 KUHD:
“Dia yang memakai sebuah kapal guna pelayaran di laut dan mengemudi kannya sendiri atau suruh mengemudikannya oleh seorang nahkoda yang bekerja padanya”
Pasal tersebut tidak mensyaratkan pemilikan atas kapal oleh pengusaha kapal, namun ia dapat menggunakannya saja (hak eksploitasi)
Pasal 321 KUHD :
Pengusaha terikat oleh segala perbuatan hokum yang dilakukan oleh mereka yang bekerja tetap/sementara pada kapalnya. Oleh karenanya ia juga bertanggung jawab atas segala kerugian yang ditimbulkan pada pihak ketiga
Perjanjian Pengankutan Laut Menurut KUHDagang:
·         Perjanjian Carter Menurut Waktu
·         Perjanjian Carter Menurut Perjalanan
·         Perjanjian Pengangkutan Barang Potongan
Perjanjian Carter Menurut Waktu:
Pasal 453 (2) KUHD, Vervrachter mengikatkan diri kepada Bevrachter untuk:
o   Waktu tertentu
o   Menyediakan sebuah kapal tertentu
o   Kapalnya untuk pelayaran di laut bagi Bevrachter
o   Pembayaran harga yang dihitung berdasarkan waktu
Kewajiban pengangkut
·        Pasal 453 (2) Menyediakan sebuah kapal tertentu menurut waktu tertentu
·        Pasal 470 jes 459 (4), 308 (3) KUHD
·        Kesanggupan atas Kapal meliputi mesin dan perlengkapan (terpelihara/lengkap) dan ABK (cukup dan cakap)
·        Pasal 460 (1) kewajiban pencarter untuk memelihara, melengkapi dan menganakbuahi
Perjanjian Carter menurut Perjalanan
Pasal 453 (3) KUHD Vervrachter mengikatkan diri kepada Bevrachter untuk
·         Menyediakan sebuah kapal tertentu
·         Seluruhnya atau sebagian dari kapal
·         Untuk pengangkutan orang/barang melalui lautan
·         Pembayaran harga berdasarkan jumlah perjalanan
Kewajiban Pengangkut
·        Menyediakan kapal tertentu atau beberapa ruanagan dalam kapal tersebut
·        Pasal 453 (2) KUHD
·        Pasal 459 (4): terpelihara dengan baik, diperlengkapi,sanggup untuk pemakaian
·        Pasal 470 (1)
1        Perjanjian Pengankutan Barang Potongan
·        Pasal 520g KUHD: Pengankutan barang berdasarkan perjanjian selain daripada perjanjian carter kapal
·        Kapalnya tidak perlu tertentu seperti perjanjian carter
+ Kewajiban Pengangkut
·        Pasal 468 (1) KUHD
·        Pasal 470 (1)
·        Mengusahakan kesanggupan kapalnya untuk dipakai sesuai perjanjian
·        Harus benar dalam memperlakukan muatan, dan melakukan penjagaan terhadap barang yang diangkutnya
·        Yang diutamakan adalah barang/muatan/cargonya sebagai objek perjanjian
Tuntutan Ganti Rugi
Jangka Waktu pengajuan
Diajukan dalam waktu satu tahun sejak barang diserahkan, atau sejak hari barang tersebut seharusnya diserahkan (pasal 487 KUHD)
·         Hak previlige: kedudukan si penerima barang didahulukan atas upah pengangkutan, tapi setelah piutang2 yang diistimewakan dalam pasal 316 KUHD ia meminta sita atas pengangkutan terlebih dahulu dalam jangka waktu satu tahun
·         Tuntutan diajukan kepada ketua pengadilan negeri setempat, diaman terjadinya penyerahan barang dari pengangkut kepada penerima barang

UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG PELAYARAN

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1 Angka 3

Angkutan di Perairan adalah kegiatan mengangkut dan/atau memindahkan penumpang dan/atau barang dengan menggunakan kapal.

Pasal 38

(1) Perusahaan angkutan di perairan wajib mengangkut penumpang dan/atau barang terutama angkutan pos yang disepakati dalam perjanjian pengangkutan.

Kewajiban dan Tanggung Jawab Pengangkut

Wajib Angkut

Pasal 38

(1) Perusahaan angkutan di perairan wajib mengangkut penumpang dan/atau barang terutama angkutan pos yang disepakati dalam perjanjian pengangkutan.

(2) Perjanjian pengangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan karcis penumpang dan dokumen muatan.

(3) Dalam keadaan tertentu Pemerintah memobilisasi armada niaga nasional.

Pasal 39

Ketentuan lebih lanjut mengenai wajib angkut diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Tanggung Jawab Pengangkut

Pasal 40

(1) Perusahaan angkutan di perairan bertangggung jawab terhadap keselamatan dan keamanan penumpang dan/atau barang yang diangkutnya.

(2) Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab terhadap muatan kapal sesuai dengan jenis dan jumlah yang dinyatakan dalam dokumen muatan dan/atau perjanjian atau kontrak pengangkutan yang telah disepakati.

Pasal 41

(1) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dapat ditimbulkan sebagai akibat pengoperasian kapal, berupa:

a. kematian atau lukanya penumpang yang diangkut;
b. musnah, hilang, atau rusaknya barang yang diangkut;
c. keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut; atau
d. kerugian pihak ketiga.

(2) Jika dapat membuktikan bahwa kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d bukan disebabkan oleh kesalahannya, perusahaan angkutan di perairan dapat dibebaskan sebagian atau seluruh tanggung jawabnya.

(3) Perusahaan angkutan di perairan wajib mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan melaksanakan asuransi perlindungan dasar penumpang umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010
TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN

KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT

Bagian Kesatu
Wajib Angkut

Pasal 177

(1) Perusahaan angkutan di perairan wajib mengangkut penumpang dan/atau barang terutama angkutan pos yang disepakati dalam perjanjian pengangkutan.

(2) Perjanjian pengangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan karcis penumpang atau dokumen muatan.

(3) Sebelum melaksanakan pengangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perusahaan angkutan di perairan harus memastikan:
a. sarana angkutan kapal telah memenuhi persyaratan kelaiklautan;
b. sarana angkutan kapal telah diisi bahan bakar dan air tawar yang cukup serta dilengkapi dengan pasokan logistik;
c. ruang penumpang, ruang muatan, ruang pendingin, dan tempat penyimpanan lain di kapal cukup memadai dan aman untuk ditempati penumpang dan/atau dimuati barang; dan
d. cara pemuatan, penanganan, penyimpanan, penumpukan, dan pembongkaran barang dan/atau naik atau turun penumpang dilakukan secara cermat dan berhati-hati.

Pasal 178

(1) Pada saat menyerahkan barang untuk diangkut, pemilik atau pengirim barang harus:
a. memberitahu pengangkut mengenai ciri-ciri umum barang yang akan diangkut dan cara penanganannya apabila pengangkut menghendaki demikian; dan
b. memberi tanda atau label secara memadai terhadap barang khusus serta barang berbahaya dan beracun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Pemilik atau pengirim barang bertanggung jawab sepenuhnya mengenai kebenaran pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan perusahaan angkutan di perairan berhak menolak untuk mengangkut barang apabila pemilik barang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 179

(1) Dalam keadaan tertentu Pemerintah memobilisasi armada niaga nasional.
(2) Pelaksanaan mobilisasi armada niaga nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua
Tanggung Jawab Pengangkut

Pasal 180

(1) Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab terhadap keselamatan dan keamanan penumpang dan/atau barang yang diangkutnya.
(2) Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab terhadap muatan kapal sesuai dengan jenis dan jumlah yang dinyatakan dalam dokumen muatan dan/atau perjanjian atau kontrak pengangkutan yang telah disepakati.

Pasal 181

(1) Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab atas akibat yang ditimbulkan oleh pengoperasian kapalnya.

(2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap:
a. kematian atau lukanya penumpang yang diangkut;
b. musnah, hilang, atau rusaknya barang yang diangkut;
c. keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut; atau
d. kerugian pihak ketiga.

(3) Perusahaan angkutan di perairan wajib mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan melaksanakan asuransi perlindungan dasar penumpang umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Batas tanggung jawab untuk pengangkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama antara pengguna dan penyedia jasa sesuai dengan perjanjian angkutan atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5) Batas tanggung jawab keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama antara pengguna dan penyedia jasa sesuai dengan perjanjian angkutan atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(6) Batas tanggung jawab atas kerugian pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(7) Jika dapat membuktikan bahwa kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d bukan disebabkan oleh kesalahannya, perusahaan angkutan di perairan dapat dibebaskan sebagian atau seluruh tanggung jawabnya.

Pasal 182

(1) Perusahaan angkutan di perairan wajib memberikan fasilitas khusus dan kemudahan bagi penyandang cacat, wanita hamil, anak di bawah usia 5 (lima) tahun, orang sakit, dan orang lanjut usia.

(2) Fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa penyediaan:
a. sarana khusus bagi penyandang cacat untuk naik ke atau turun dari kapal;
b. sarana khusus bagi penyandang cacat selama di kapal;
c. sarana bantu bagi orang sakit yang pengangkutannya mengharuskan dalam posisi tidur; dan
d. fasilitas khusus bagi penumpang yang mengidap penyakit menular.

(3) Kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pemberian prioritas:
a. untuk mendapatkan tiket angkutan; dan
b. pelayanan untuk naik ke dan turun dari kapal.

(4) Pemberian fasilitas khusus dan kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipungut biaya tambahan.

Pasal 183

Ketentuan lebih lanjut mengenai standar fasilitas dan kemudahan bagi penumpang penyandang cacat, wanita hamil, anak di bawah usia 5 (lima) tahun, orang sakit, dan orang lanjut usia diatur dengan Peraturan Menteri.


Popular Posts