Hukum Transportasi

Hukum Pengangkutan Indonesia diatur di dalam...

Transportasi Darat

Selengkapnya...

Transportasi Laut

Selengkapnya...

Transportasi Udara

Selengkapnya...

Saluran Pipa

Selengkapnya...

Kamis, 28 Mei 2015

HUKUM TRANSPORTASI LAUT



BAB III
HUKUM TRANSPORTASI LAUT


Mata Kuliah
HUKUM TRANSPORTASI

Dosen
SURAJIMAN, S.H., M.Hum.

 


Disusun Oleh :
Sara Suprihatin                         133112330040065
Sugeng Purnomo                      133112330040094
I Dewa Gede Ariadha                133112330040095



FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NASIONAL
2015




BAB III
HUKUM TRANSPORTASI LAUT

A.    PENGERTIAN

Pengangkutan menurut Purwosutjipto adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan.[1]
 Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 Angka 3, 4 dan 5 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Angkutan di Perairan adalah kegiatan mengangkut dan/atau memindahkan penumpang dan/atau barang dengan menggunakan kapal. Pada Pasal 1 Angka 4 dan 5 disebutkan bahwa Angkutan Laut Khusus adalah kegiatan angkutan untuk melayani kepentingan usaha sendiri dalam menunjang usaha pokoknya, sedangkan Angkutan Laut Pelayaran-Rakyat adalah usaha rakyat yang bersifat tradisional dan mempunyai karakteristik tersendiri untuk melaksanakan angkutan di perairan dengan menggunakan kapal layar, kapal layar bermotor, dan/atau kapal motor sederhana berbendera Indonesia dengan ukuran tertentu.[2]
Pada Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan, diatur tentang angkutan laut sebagai berikut:[3]
(2)   Angkutan Laut adalah kegiatan angkutan yang menurut kegiatannya melayani kegiatan angkutan laut.
(3)   Angkutan Laut Dalam Negeri adalah kegiatan angkutan laut yang dilakukan di wilayah perairan Indonesia yang diselenggarakan oleh perusahaan angkutan laut nasional.
(4)   Angkutan Laut Luar Negeri adalah kegiatan angkutan laut dari pelabuhan atau terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri ke pelabuhan luar negeri atau dari pelabuhan luar negeri ke pelabuhan atau terminal khusus Indonesia yang terbuka bagi perdagangan luar negeri yang diselenggarakan oleh perusahaan angkutan laut

B.     DASAR HUKUM

Dasar Hukum Pengangkutan Laut, diatur di dalam:
1. KUH Dagang yaitu pada:
a. Buku II Bab V Tentang perjanjian carter kapal
b. Buku II Bab VA Tentang Tentang Pengangkutan barang-barang
c. Buku II Bab V B Tentang Pengangkutan Orang.
2. Ketentuan Peraturan Perundang-undangan:
a. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran
b. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 Tentang Perkapalan
c. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 Tentang kepelabuhan
d. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan Di Perairan
e. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 33 Tahun 2001 Tentang Penyelenggaraan dan Penguasaan Angkutan Laut.

C.    PARA PIHAK
Yang dimaksud dengan pihak-pihak dalam pengangkutan adalah para subjek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam hubungan hukum pengangkutan. Mengenai siapa saja yang menjadi pihak-pihak dalam pengangkutan ada beberapa pendapat yang dikemukakan para ahli antara lain: Wihoho Soedjono menjelaskan bahwa di dalam pengangkutan di laut terutama mengenai pengangkutan di laut terutama mengenai pengangkutan barang, maka perlu diperhatikan adanya tiga unsur yaitu pihak pengirim barang, pihak penerima barang dan barangnya itu sendiri.[4]
Menurut H.M.N Purwosutjipto, pihak-pihak dalam pengangkutan yaitu pengangkut dan pengirim. Pengangkut adalah orang yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat. Lawan dari pihak pengangkut ialah pengirim yaitu pihak yang mengikatkan dari untuk membayar uang angkutan, dimaksudkan juga ia memberikan muatan. Menurut Abdulkadir Muhammad, subjek hukum pengangkutan adalah pendukung kewajiban dan hak dalam hubungan hukum pengangkutan, yaitu pihak-pihak yang terlibat secara langsung dalam proses perjanjian sebagai pihak dalam perjanjian pengangkutan”. Mereka itu adalah pengangkut, pengirim, penumpang, penerima, ekspeditur, agen perjalanan, pengusaha muat bongkar, dan pengusaha pergudangan. Subjek hukum pengangkutan dapat berstatus badan hukum, persekutuan bukan badan hukum, dan perseorangan.[5]

a. Pengangkut (Carrier)
Dalam perjanjian pengangkutan barang, pihak pengangkut yakni pihak yang berkewajiban memberikan pelayanan jasa angkutan, barang dan berhak atas penerimaan pembayaran tarif angkutan sesuai yang telah diperjanjikan. Dalam perjanjian pengangkutan penumpang, pihak pengangkut yakni pihak yang berkewajiban memberikan pelayanan jasa angkutan penumpang dan berhak atas penerimaan pembayaran tarif (ongkos) angkutan sesuai yang telah ditetapkan.[6]

b. Pengirim (Consigner, Shipper)
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Indonesia tidak mengatur definisi pengirim secara umum. Akan tetapi, dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan, pengirim adalah pihak yang mengikatkan diri untuk membayar pengangkutan barang dan atas dasar itu dia berhak memperoleh pelayanan pengangkutan barang dari pengangkut. Dalam bahasa Inggris, pengirim disebut consigner, khusus pada pengangkutan perairan pengangkut disebut shipper.[7]

c. Penumpang (Passanger)
Penumpang adalah pihak yang berhak mendapatkan pelayanan jasa angkutan penumpang dan berkewajiban untuk membayar tarif (ongkos) angkutan sesuai yang ditetapkan.59 Menurut perjanjian pengangkutan, penumpang mempunyai dua status, yaitu sebagai subjek karena dia adalah pihak dalam perjanjian dan sebagai objek karena dia adalah muatan yang diangkut. Kenyataan menunjukkan bahwa anak-anak dapat membuat perjanjian pengangkutan menurut kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Berdasarkan kebiasaan, anak-anak mengadakan perjanjian pengangkutan itu sudah mendapat restu dari pihak orang tua tau walinya. Berdasarkan kebiasaan itu juga pihak pegangkut sudah memaklumi hal tersebut. Jadi yang bertanggung jawab adalah orang tua atau wali yang mewakili anak-anak itu. Hal ini bukan menyimpangi undang-undang, bahkan sesuai dengan undang-undang dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.[8]

d. Penerima (Consignee)
Pihak penerima barang yakni sama dengan pihak pengirim dalam hal pihak pengirim dan penerima adalah merupakan subjek yang berbeda. Namun adakalanya pihak pengirim barang juga adalah sebagai pihak yang menerima barang yang diangkut di tempat tujuan. Dalam perjanjian pengangkutan, penerima mungkin pengirim sendiri, mungkin juga pihak ketiga yang berkepentingan. Dalam hal penerima adalah pengirim, maka penerima adalah pihak dalam perjanjian pengangkutan. Dalam penerima adalah pihak ketiga yang berkepentingan, penerima bukan pihak dalam perjanjian pengangkutan, melainkan sebagai pihak ketiga yang berkepentingan atas barang kiriman, tetapi tergolong juga sebagai subjek hukum pengangkutan. [9]

Adapun kriteria penerima menrut perjanjian, yaitu:
1. perusahaan atau perorangan yang memperoleh hak dari pengirim barang;
2. dibuktikan dengan penguasaan dokumen pengangkutan;
3. membayar atau tanpa membayar biaya pengangkutan.

e. Ekspeditur
Ekspeditur dijumpai dalam perjanjian pengangkutan barang, dalam bahasa Inggris disebut cargo forwarder. Ekspeditur digolongkan sebagai subjek hukum pengangkutan karena mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pengirim atau pengangkut atau penerima barang. Ekspeditur berfungsi sebagai pengantara dalam perjanjian pengangkutan yang bertindak atas nama pengirim. Pengusaha transport seperti ekspeditur bekerja dalam lapangan pengangkutan barang-barang namun dalam hal ini ia sendirilah yang bertindak sebagai pihak pengangkut. Hal ini nampak sekali dalam perincian tentang besarnya biaya angkutan yang ditetapkan. Seorang ekspeditur memperhitungkan atas biaya muatan (vrachtloon) dari pihak pengangkut jumlah biaya dan provisi sebagai upah untuk pihaknya sendiri, yang tidak dilakukan oleh pengusaha transport. [10]
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui kriteria ekspeditur menurut ketentuan undang-undang, yaitu:
1. perusahaan pengantara pencari pengangkut barang;
2. bertindak untuk dan atas nama pengirim; dan
3. menerima provisi dari pengirim.

f. Agen Perjalanan (Travel Agent)
Agen perjalanan (travel agent) dikenal dalam perjanjian pengangkutan penumpang. Agen perjalanan digolongkan sebagai subjek hukum pengangkutan karena mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pengangkut, yaitu perusahaan pengangkutan penumpang. Agen perjalanan berfungsi sebagai agen (wakil) dalam perjanjian keagenan (agency agreement) yang bertindak untuk dan atas nama pengangkut. Agen perjalanan adalah perusahaan yang kegiatan usahanya mencarikan penumpang bagi perusahaan pengangkutan kereta api, kendaraan umum, kapal, atau pesawat udara. [11]
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditentukan kriteria agen perjalanan menurut undang-undang, yaitu:
1. pihak dalam perjanjian keagenan perjalanan;
2. bertindak untuk dan atas nama pengangkut;
3. menerima provisi (imbalan jasa) dari pengangkut; dan
4. menjamin penumpang tiba di tempat tujuan dengan selamat.

g. Pengusaha Muat Bongkar (Stevedoring)
Untuk mendukung kelancaran kegiatan angkutan barang dari dan ke suatu pelabuhan, maka kegiatan bongkar muat barang dari dan ke kapal mempunyai kedudukan yang penting. Di samping itu keselamatan dan keamanan barang yang dibongkar muat dari dan ke pelabuhan sangat erat kaitannya dengan kegiatan bongkar muat tersebut. Menurut Pasal 1 butir 16 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 1999 pengusaha muat bongkar adalah ”kegiatan usaha yang bergerak dalam bidang bongkar muat barang dan/atau hewan dari dan ke kapal”. Perusahaan ini memiliki tenaga ahli yang pandai menempatkan barang di dalam ruang kapal yang terbatas itu sesuai dengan sifat barang, ventilasi yang diperlukan dan tidak mudah bergerak/bergeser. Demikian juga ketika membongkar barang dari kapal diperlukan keahlian sehingga barang yang dapat dibongkar dengan mudah, efisien, dan tidak menimbulkan kerusakan.[12]

h. Pengusaha Pergudangan (Warehousing)
Menurut Pasal 1 alinea kedua Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1969, pengusaha pergudangan adalah ”perusahaan yang bergerak di bidang jenis jasa penyimpanan barang di dalam gudang pelabuhan selama barang yang bersangkutan menunggu pemuatan ke dalam kapal atau penunggu pemuatan ke dalam kapal atau menunggu pengeluarannya dari gudang pelabuhan yang berada di bawah pengawasan Dinas Bea dan Cukai”.[13]

D.    HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK

Hak dan Kewajiban Pengangkut
Dalam perjanjian pengangkutan, pihak pengangkut dapat dikatakan udah mengakui menerima barang/penumpang dan menyanggupi untuk membawanya ke tempat yang dituju dan menyerahkannya kepada si alamat yang dituju, dengan dibuktikan oleh diserahkannya surat muatan bagi pengangkutan barang atau dengan tiket untuk pengangkutan penumpang.[14]
Mengenai kewajiban pengangkut diatur dalam Pasal 468, Pasal 521, dan Pasal 522 KUHD. Pasal 468 KUHD menyatakan bahwa “Dalam persetujuan pengangkutan, mewajibkan pengangkut untuk menjaga akan keselamatan barang yang harus diangkutnya, mulai saat diterimanya hingga saat diserahkannya barang tersebut”.
Kemudian, Pasal 521 KUHD menjelaskan bahwa “Pengangkutan dalam arti ini adalah barang siapa yang baik dengan suatu carter menurut waktu atau carter menurut perjalanan baik dengan sesuatu persetujuan lain, mengikatkan dirinya untuk menyelenggarakan pengangkutan barang, seluruhnya atau sebagian melalui lautan”.
Selanjutnya, Pasal 522 KUHD juga menjelaskan bahwa “Persetujuan pengangkutan mewajibkan pengangkut untuk menjaga keselamatan barang, sejak dimuat hingga menyerahkannya kepada penerima di pelabuhan tiba”.
Selain hal tersebut di atas, pengangkut juga harus bertanggung jawab, dalam arti harus mengganti segala yang disebabkan kerugian karena kerusakan pada barang atau kehilangan barang karena pengangkutan. Kecuali, apabila dapat dibuktikan bahwa rusaknya barang disebabkan oleh kejadian yang selayaknya tak dapat dicegah maupun dihindarkan, ataupun karena kesalahan pengirim sendiri.
Hak pengangkut ialah  menerima ongkos pengangkutan sesuai apa yang diperjanjikan di dalam B/L.[15]

Hak dan Kewajiban Pengirim
Pengirim/penerima barang yang akan menggunakan jasa pengangkutan laut, tinggal membayar ongkos barang yang akan diangkut sesuai ketentuan yang disebutkan dalam surat muatan, yang disebut dengan pembayaran ongkos/biaya angkut (freight). Di sisi yang lain,dia juga memiliki hak untuk menerima barang yang dikirimkannya/akan diterimanya dengan keadaan selamat atau tidak mengalami kerusakan apapun.[16]
.
E.     TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT
Pada dasarnya pengangkut bertanggung jawab atas musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut sejak barang tersebut diterima oleh pengangkut dari pihak pengirim/pemilik barang, merupakan suatu konsekuensi perjanjian pengangkutan yang telah diadakan antara pengangkut dengan penumpang atau pemilik barang atau pengirim barang, dimana sesuai dengan pasal 40 UU No. 17 Tahun 2008.[17]
Pasal 40:
(1)     Perusahaan angkutan di perairan bertangggung jawab terhadap keselamatan dan keamanan penumpang dan/atau barang yang diangkutnya.
(2)     Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab terhadap muatan kapal sesuai dengan jenis dan jumlah yang dinyatakan dalam dokumen muatan dan/atau perjanjian atau kontrak pengangkutan yang telah disepakati.

Tanggung jawab yang tertuang dalam pasal 40 UU No. 17 Tahun 2008 tersebut kembali diperjelas dalam pasal 41 UU No. 17 Tahun 2008 yang menentukan sebagai berikut:
Pasal 41:
(1)   Tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 dapat ditimbulkan sebagai akibat pengoperasian kapal, berupa :
a) kematian atau lukanya penumpang yang diangkut;
b) musnah, hilang, atau rusaknya barang yang diangkut;
c) keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut; atau
d) kerugian pihak ketiga.
(2) Jika dapat membuktikan bahwa kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d bukan disebabkan oleh kesalahannya, perusahaan angkutan di perairan dapat dibebaskan sebagian atau seluruh tanggung jawabnya.
(3)   Perusahaan angkutan di perairan wajib mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan melaksanakan asuransi perlindungan dasar penumpang umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan ketentuan pasal 41 ayat (3) dapat diperoleh bahwa atas tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud pada pasal 41 (1) UU No. 17 Tahun 2008, yaitu akibat dari pengoperasian kapal, pengangkut juga diwajibkan untuk mengasuransikan tanggung jawabnya tersebut. Apabila perusahaan pengangkutan tidak melaksanakan ketentuan pasal 41 ayat (3) di atas, dapat dijatuhkan sanksi yang ditentukan sesuai dengan Pasal 292 UU No. 17 tahun 2008.
Ketentuan umum lainnya mengenai tanggung jawab pengangkut (Liability of the Carrier) dapat dilihat didalam pasal 468 KUHD, sebagai suatu pasal mengenai pertanggungjawaban pengangkut yang membawa konsekuensi berat bagi pengangkut.[18]
Selain itu, Pasal 477 KUHD menetapkan pula bahwa pengangkut juga bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena terlambatnya diserahkan barang yang diangkut. Pertanggungjawaban pengangkut ini juga telah diatur dalam The Hague Rules 1924 article 1 (2) yaitu sejak barang itu dimuat sampai barang dibongkar. Dengan demikian maka pertanggungjawaban pengangkut itu berakhir sejak barang itu dibongkar dan diserahkan dekat kapal. The Hamburg Rules 1978 yang ditemukan didalam article 4, menyatakan bahwa pertanggungjawaban pengangkut adalah pada saat barang-barang berada dibawah penguasaannya yaitu di pelabuhan pemberangkatan, selama berlangsungnya pengangkutan sampai di pelabuhan pembongkaran. Dengan ketentuan demikian sangat jelas bahwa masa pertanggungjawaban pengangkut (period of responsiblity of the carrier) dalam The Hamburg Rules 1978 adalah lebih tegas, nyata dan memberi tanggung jawab yang besar bagi pengangkut.[19]
Akan tetapi, pengangkut dapat terbebas dari sebagian atau seluruh dari tanggung jawabnya dengan membuktikan bahwa kerugian atas musnah, hilang atau rusaknya barang bukan merupakan kesalahannya yang juga diatur dalam KUHD Pasal 477.[20]
Tanggung Jawab Pengangkut sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan Di Perairan adalah sebagai berikut:[21]
Pasal 180
(1) Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab terhadap keselamatan dan keamanan penumpang dan/atau barang yang diangkutnya.
(2) Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab terhadap muatan kapal sesuai dengan jenis dan jumlah yang dinyatakan dalam dokumen muatan dan/atau perjanjian atau kontrak pengangkutan yang telah disepakati.

Pasal 181
(1) Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab atas akibat yang ditimbulkan oleh pengoperasian kapalnya.
(2)   Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap:
a. kematian atau lukanya penumpang yang diangkut;
b. musnah, hilang, atau rusaknya barang yang diangkut;
c. keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut; atau
d. kerugian pihak ketiga.
(3) Perusahaan angkutan di perairan wajib mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan melaksanakan asuransi perlindungan dasar penumpang umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4)   Batas tanggung jawab untuk pengangkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama antara pengguna dan penyedia jasa sesuai dengan perjanjian angkutan atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5)   Batas tanggung jawab keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama antara pengguna dan penyedia jasa sesuai dengan perjanjian angkutan atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6)   Batas tanggung jawab atas kerugian pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7)   Jika dapat membuktikan bahwa kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d bukan disebabkan oleh kesalahannya, perusahaan angkutan di perairan dapat dibebaskan sebagian atau seluruh tanggung jawabnya.

Pasal 182
(1)   Perusahaan angkutan di perairan wajib memberikan fasilitas khusus dan kemudahan bagi penyandang cacat, wanita hamil, anak di bawah usia 5 (lima) tahun, orang sakit, dan orang lanjut usia.
(2)   Fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa penyediaan:
a. sarana khusus bagi penyandang cacat untuk naik ke atau turun dari kapal;
b. sarana khusus bagi penyandang cacat selama di kapal;
c. sarana bantu bagi orang sakit yang pengangkutannya mengharuskan dalam posisi tidur; dan
d. fasilitas khusus bagi penumpang yang mengidap penyakit menular.
(3)   Kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pemberian prioritas:
a. untuk mendapatkan tiket angkutan; dan
b. pelayanan untuk naik ke dan turun dari kapal.
(4)   Pemberian fasilitas khusus dan kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipungut biaya tambahan.

Pasal 183
Ketentuan lebih lanjut mengenai standar fasilitas dan kemudahan bagi penumpang penyandang cacat, wanita hamil, anak di bawah usia 5 (lima) tahun, orang sakit, dan orang lanjut usia diatur dengan Peraturan Menteri.


DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Djafar Al Bram, Pengantar Hukum Pengangkutan Laut (Buku 1), Jakarta, Penerbit PKIH FHUP, 2011.
Purwosutjipto, H.M.N., Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid 3, Hukum Pengangkutan. Jakarta, Djambatan, 2003.

Peraturan Perundang-undangan:
Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
_________, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
_________,Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849.
_________,Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan.
_________,Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhan.
_________,Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan Di Perairan.
_________,Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 33 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan dan Penguasaan Angkutan Laut.

Website:
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=74916&val=4724, diunduh pada tanggal 28 Mei 2015 pukul 16.00.
http://mell-benu.blogspot.com/2012/04/buku-ajar-hukum-pengangkutan.html, diunduh pada tanggal 28 Mei 2015 pukul 16.00.


[1]     Purwosutjipto, HukumPengangkutan, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2003, hal. 2.
[2]     Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, LN RI Tahun 2008 Nomor 64, TLN RI Nomor 4849, Pasal 1 Angka 3, 4 dan 5.
[3]     Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan, Pasal 1.
[4]     http://mell-benu.blogspot.com/2012/04/buku-ajar-hukum-pengangkutan.html diunduh pada tanggal 28 Mei 2015 pukul 16.00.
[5]     Ibid.
[6]     Ibid
[7]     Ibid
[8]     Ibid
[9]     Ibid
[10]    Ibid
[11]    Ibid
[12]    Ibid
[13]    Ibid
[14]    Djafar Al Bram, Pengantar Hukum Pengangkutan Laut, Jakarta, Penerbit PKIH FHUP, 2011, hal. 43.
[15]    Ibid. hal. 44.
[16]    Ibid. hal. 44.
[17]     http://download.portalgaruda.org/article.php?article=74916&val=4724 diunduh pada tanggal 28 Mei 2015 pukul 16.00.
[18]    Ibid
[19]    Ibid
[20]    Ibid
[21]    Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan Di Perairan, Pasal 180- 183

Popular Posts