Rabu, 11 Maret 2015

Sumber Hukum Pengangkutan



Secara umum sumber hukum diartikan sebagai tempat dapat menemukan hukum atau tempat mengenali hukum. Sumber hukum dibagi menjadi dua, yaitu sumber hukum material (amaterial sources of law) dan sumber hukum dalam arti formal (a formal sources of law).

Sumber hukum materil adalah sumber dari mana diperoleh bahan hukum dan bukan kekuatan berlakunya, dalam hal ini keputusan resmi dari hakim/pengadilan yang memberikan kekuatan berlakunya, sedangkan sumber hukum formal adalah sumber dari sumber mana suatu peraturan hukum memperoleh kekuatan dan sah berlakunya. Sumber hukum formal adalah kehendak negara sebagai mana dijelaskan dalam undang-undang atau putusan-putusan pengadilan. Sumber hukum yang telah dirumuskan peraturannya dalam suatu bentuk,berdasarkan apa ia berlaku, ia ditaati orang dan mengikat hakim, serta pejabat hukum. Itulah sumber-sumber hukum dalam arti formal, atau dapat juga disebut sumber-sumber berlakunya hukum karena ia adalah sebagai causa efficiens.

Hukum pengangkutan merupakan bagian dari hukum dagang yang termasuk dalam bidang hukum perdata. Dilihat dari segi susunan hukum normatif, hukum perdata merupakan sub sistem tata hukum nasional. Jadi hukum dagang atau perusahaan termasuk dalam subsistem tata hukum nasional. Dengan demikian, hukum pengangkutan adalah bagian dari subsistem hukum nasional. Pengaturan pengangkutan pada umumnya tidak ditemukan dalam peraturan perundang-undangan, tetapi pengaturan pengangkutan dibuat secara khusus menurut jenis-jenis pengangkutan. Jadi, tiap-tiap jenis pengangkutan diatur di dalam peraturan tersendiri, sedangkan jenis-jenis pengangkutan yang ada sekarang ini ada beberapa macam, yaitu pengangkutan darat, pengangkutan laut, dan pengangkutan udara.

Ketentuan-ketentuan umum mengenai pengangkutan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dapat ditemukan di dalam beberapa pasal, yaitu sebagai berikut:
a) Buku I Bab V bagian 2 dan 3, mulai dari Pasal 90 sampai dengan Pasal 98 TentangPengangkutan darat Dan Pengangkutan Perairan Darat;
b)  Buku II Bab V Pasal 453 sampai dengan Pasal 465 Tentang Pencarteran Kapal, Buku IIBab V A Pasal 466 sampai dengan Pasal 520 Tentang Pengangkutan Barang, dan Buku IIBab V B Pasal 521 sampai Pasal 544a Tentang Pengangkutan Orang;
c) Buku I Bab V Bagian II Pasal 86 sampai dengan Pasal 90 mengenai Kedudukan ParaEkspeditur sebagai Pengusaha Perantara;
d)  Buku I Bab XIII Pasal 748 sampai dengan Pasal 754 mengenai Kapal-Kapal yang melalui perairan darat.

Sedangkan ketentuan-ketentuan tentang pengangkutan di luar KUH Dagang terdapat dalam sumber-sumber khusus, yaitu antara lain:
a)    Konvensi-konvensi internasional;
b)    Perjanjian bilateral atau perjanjian multilateral;
c)    Peraturan perundang-undangan nasional;
d)   Yurisprudensi;
e)    Perjanjian-perjanjian antara:
1.    Pemerintah-Perusahaan Angkutan
2.    Perusahaan Angkutan- Perusahaan Angkutan
3.    Perusahaan Angkutan- pribadi/swasta

Sedangkan peraturan-peraturan khusus untuk tiap-tiap jenis pengangkutan tersebut, yaitu diatur di dalam:

A.  Pengangkutan Darat, diatur di dalam:
1.   Pasal 91 sampai dengan Pasal 98 tentang surat angkutan dan tentang pengangkut dan juragan perahu melalui sungai dan perairan darat
2.   Ketentuan di luar KUH Dagang/ KUH Perdata, terdapat di dalam:
a)   Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1984 Tentang Pos
b)   Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 Tentang Perkeretaapian
c)   Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 9 tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

B.  Pengangkutan Laut, diatur di dalam:
1. KUH Dagang yaitu pada:
a)   Buku II Bab V Tentang perjanjian carter kapal
b)   Buku II Bab VA Tentang Tentang Pengangkutan barang-barang
c)   Buku II Bab V B Tentang Pengangkutan Orang.
2. Ketentuan lainnya dapat ditemukan pada:
a)   Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1992 Tentang Pelayaran
b)   Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 Tentang Perkapalan
c)   Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 Tentang kepelabuhan
d)  Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 33 Tahun 2001 Tentang Penyelenggaraan dan Penguasaan Angkutan Laut.

C.  Pengangkutan udara, ketentuan peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur tentang angkutan udara, antara lain:
a)   Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan
a)   Ordonansi Pengangkutan Udara 1939 (luchtervoerordonanntie) tentang tanggung jawab pengangkut udara
b)   Peraturan pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 Tentang Angkutan Udara.

Selain hukum positif nasional yang mengatur mengenai angkutan udara juga terdapat beberapa ketentuan-ketentuan internasional. Di dalam tata urutan sumber hukum konvensi-konvensi internasional dan perjanjian multilateral/bilateral diletakkan di atas peraturan perundang-undangan nasional. Karena hukum udara termasuk di dalamnya hukum pengangkutan udara yang lebih bersifat internasional, hukum udara dan hukum pengakutan udara nasional di setiap negara pada umumnya mendasarkan diri bahkan ada yang turunan semata dari konvensi-konvensi internasional dalam bidang angkutan udara tersebut.

Beberapa sumber hukum angkutan udara yang bersifat ineternasional, (Konvensi-konvensi internasional dalam bidang angkutan udara) yaitu sebagai berikut:

a)      Konvensi Warsawa (Warsaw Convention) 1929

Konversi Warsawa ini nama lengkapnya adalah “Convention for The Unification of The Certain Rules Relating to Internasional Carriage by Air”, ditandatangani pada tanggal 12 Oktober 1929 di Warsawa dan berlaku di Indonesia mulai tanggal 29 September 1933.

Konvensi ini antara lain mengatur hal pokok, yaitu pertama mengatur masalah dokumen angkutan udara (chapter II article 3-16) dan yang kedua mengatur masalah tanggungjawab pengangkut udara.

Konvensi Warsawa penting artinya karena ketentuan-ketentuan yang terkandung di dalamnya dengan atau tanpa perubahan di beberapa negara dipergunakan pula bagi angkutan udara domestik, seperti di Inggris, Negeri Belanda, dan Indonesia. Dengan demikian, maka setiap perubahan pada Konvensi Warsawa harus pula diikuti dengan seksama di Indonesia, karena perkembangan dalam hukum udara perdata internasional akan berpengaruh pula pada hukum udara perdata nasional di Indonesia. Terutama ketentuan mengenai besarnya ganti rugi, baik untuk penumpang maupun barang harus sama besarnya, ini berlaku untuk penerbangan domestik maupun internasional.

b)  Konvensi Geneva

Konvensi Geneva ini mengatur tentang “International Recognition of Right in Aircraft”. Dalam Konvensi Geneva Indonesia tidak turut serta. Namun demikian dari segi ilmu hukum konvensi ini penting sekali adanya, karena baik “mortage” (dalam hukum Anglosaxon) maupun “hipotik” (dalam hukum Kontinental) atas pesawat udara dan peralatannya dapat diakui secara internasional oleh negara-negara pesertanya.

c)  Konvensi Roma 1952

Nama lengkap dari Konvensi ini adalah “Convention on Damage Caused by Foreign Aircraft to Third Parties on the Surface”, ditandatangani di Roma pada tanggal 7 Oktober 1952 dan merupakan pengganti dari konvensi Roma sebelumnya (tahun 1933). Konvensi Roma tahun 1952 ini mengatur masalah tanggungjawab operator pesawat terbang asing terhadap pihak ketiga di darat yang menderita kerugian yang ditimbulkan oleh operator pesawat terbang asing tersebut. Peserta Konvensi Roma tahun 1952 tersebut pesertanya tidak begitu banyak, dan Indonesia pun tidak ikut serta di dalamnya.

d)  Protokol Hague 1955

Nama lengkap dari protokol Hague adalah Protokol to Amend the Convention for the Unification of Certain Rules Relating to Internasional Carriage by Air, Signet at Warsaw 12 Oktober 1929. Tetapi lazimnya disebut sebagai Hague Protocol 1955.

Protocol Hague 1955 yang ditandatangani pada tanggal 28 September 1955, berisi beberapa amandemen terhadap Konvensi Warsawa 1929 seperti masalah kenaikan limit ganti rugi untuk penumpang, penyederhanaan dan penyempurnaan tiket penumpang dan surat muatan udara.

Jumlah peserta Protocol Hague ini sampai dengan tahun 1981 sebanyak 105 negara. Di dalam peserta Protocol Hague ini negara Indonesia tidak tercatat di dalamnya, tetapi sebenarnya Indonesia melalui piagam pernyataan Menteri Luar Negeri RI tanggal 12 Agustus 1960 untuk turut serta (instrument of accession) sebagai negara peserta kepada Pemerintah Polandia sebagai Depositary State Protocol Hague ini melalui Kedutaan Besar Indonesia di Moscow untuk diteruskan di Polandia.

e)  Konvensi Guadalajara 1961

Nama lengkap daripada Konvensi Guadalajara 1961 adalah “Convention Supplementary to The Warsaw Convention for the Unification of Certain Rules Relating to International Carriage by Air Performed by a person other than the Contracting Carrier. Konvensi Guadalajara ditandatangani pada tanggal 18 September 1961 dan muali berlaku sejak tanggal 2 Mei 1964 setelah diratifikasi oleh 5 negara pesertanya. Konvensi Guadalajara 1961 merupakan suplemen atas Konvensi Warsawa, suplemen tersebut mengatur masalah tanggungjawab pengangkut udara terhadap pihak-pihak tidak tersangkut dalam mengadakan perjanjian pengangkutan udara, karena dalam praktek sering terjadi pengangkut yang sebenarnya bukanlah pengangkut yang mengadakan perjanjian pengangkutan. Hingga dengan demikian dalam konvensi dikenal adanya istilah actual carrier dan contracting carrier.

Pada pokoknya Konvensi Guadalajara memperlakukan ketentuan Konvensi Warsawa terhadap angkutan udara yang dilakukan oleh pengangkut yang bukan merupakan pengangkut yang mengadakan perjanjian pengangkutan udara. Sehingga dengan demikian system tanggungjawab yang dianut sama dengan Konvensi Warsawa.

f) Protokol Guatemala

Protokol Guatemala yang ditandatangani pada tanggal 8 Maret 1971 memuat perubahan-perubahan penting atas beberapa ketentuan dalam Konvensi Warsawa dan Protocol Hague, terutama dalam hal prinsip tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang dan bagasi.

Dalam Protocol Guatemala ini ditentukan :
a.   Tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang dan bagasi digunakan sistem tanggung jawab yang prinsip “absolute liability dengan prinsip limitation of liability” dan untuk limit ganti ruginya ditetapkan sebesar 1.500.000,- Gold Franc.
b.   Tanggung jawab terhadap muatan digunakan kombinasi prinsip Presumption of Liability dengan Limitation of Liability.
c.    Tanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan kelambatan terhadap penumpang, bagasi dan barang digunakan kombinasi prinsip “presumption on non liability dengan limitation of liability”.

Dalam Protocol Guatemala ini, Indonesia ikut serta mengirimkan delegasinya tetapi tidak ikut menandatanganinya, karena delegasi Indonesia beranggapan bahwa limit tanggung jawab yang ditentukan oleh Protokol Hague ini terlalu tinggi.

(diambil dari berbagai sumber)

2 komentar:

  1. Mengapa KUHD dan Ordonansi Pengangkutan Udara masih dijadikan sumber hukum dalam hukum pengangkutan?

    BalasHapus
  2. Apa saja konvensi pengangkutan barang melalui darat (jalan & kereta api)

    BalasHapus

Popular Posts