Secara umum sumber hukum
diartikan sebagai tempat dapat menemukan hukum atau tempat mengenali hukum.
Sumber hukum dibagi menjadi dua, yaitu sumber hukum material (amaterial sources of law) dan sumber hukum dalam arti formal (a formal sources of law).
Sumber hukum materil adalah
sumber dari mana diperoleh bahan hukum dan bukan kekuatan berlakunya, dalam hal ini keputusan resmi dari hakim/pengadilan
yang memberikan kekuatan berlakunya, sedangkan
sumber hukum formal adalah sumber dari sumber mana suatu peraturan hukum memperoleh kekuatan dan sah berlakunya. Sumber hukum formal
adalah kehendak negara sebagai mana dijelaskan dalam undang-undang atau
putusan-putusan pengadilan. Sumber hukum yang
telah dirumuskan peraturannya dalam suatu bentuk,berdasarkan apa ia berlaku, ia
ditaati orang dan mengikat hakim, serta pejabat hukum. Itulah sumber-sumber hukum dalam arti formal, atau dapat juga disebut
sumber-sumber berlakunya hukum karena ia adalah sebagai
causa efficiens.
Hukum pengangkutan merupakan
bagian dari hukum dagang yang termasuk dalam bidang hukum perdata. Dilihat dari segi susunan hukum normatif, hukum
perdata merupakan sub sistem tata hukum
nasional. Jadi hukum dagang atau perusahaan termasuk dalam subsistem tata hukum
nasional. Dengan demikian, hukum pengangkutan adalah bagian dari subsistem
hukum nasional. Pengaturan pengangkutan pada umumnya tidak ditemukan dalam peraturan perundang-undangan, tetapi pengaturan pengangkutan dibuat secara
khusus menurut jenis-jenis pengangkutan.
Jadi, tiap-tiap jenis pengangkutan diatur di dalam peraturan tersendiri, sedangkan jenis-jenis pengangkutan yang ada sekarang ini ada
beberapa macam, yaitu pengangkutan darat,
pengangkutan laut, dan pengangkutan udara.
Ketentuan-ketentuan umum
mengenai pengangkutan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dapat ditemukan di dalam beberapa pasal, yaitu sebagai
berikut:
a) Buku I Bab V bagian 2 dan 3, mulai dari Pasal 90 sampai dengan
Pasal 98 TentangPengangkutan darat Dan Pengangkutan Perairan Darat;
b) Buku II
Bab V Pasal 453 sampai dengan Pasal 465 Tentang Pencarteran Kapal, Buku IIBab V
A Pasal 466 sampai dengan Pasal 520 Tentang Pengangkutan Barang, dan Buku IIBab
V B Pasal 521 sampai Pasal 544a Tentang Pengangkutan Orang;
c) Buku I Bab
V Bagian II Pasal 86 sampai dengan Pasal 90 mengenai Kedudukan ParaEkspeditur
sebagai Pengusaha Perantara;
d) Buku I Bab
XIII Pasal 748 sampai dengan Pasal 754 mengenai Kapal-Kapal yang melalui perairan darat.
Sedangkan ketentuan-ketentuan
tentang pengangkutan di luar KUH Dagang terdapat dalam sumber-sumber khusus,
yaitu antara lain:
a) Konvensi-konvensi
internasional;
b) Perjanjian
bilateral atau perjanjian multilateral;
c) Peraturan
perundang-undangan nasional;
d) Yurisprudensi;
e) Perjanjian-perjanjian
antara:
1. Pemerintah-Perusahaan
Angkutan
2. Perusahaan
Angkutan- Perusahaan Angkutan
3. Perusahaan
Angkutan- pribadi/swasta
Sedangkan peraturan-peraturan
khusus untuk tiap-tiap jenis pengangkutan tersebut, yaitu diatur di dalam:
A. Pengangkutan Darat, diatur di dalam:
1. Pasal 91
sampai dengan Pasal 98 tentang surat angkutan dan tentang pengangkut dan
juragan perahu melalui sungai dan perairan darat
2. Ketentuan
di luar KUH Dagang/ KUH Perdata, terdapat di dalam:
a) Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1984 Tentang Pos
b) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 1992 Tentang Perkeretaapian
c) Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1992 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 9 tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
B. Pengangkutan Laut, diatur di dalam:
1. KUH Dagang yaitu pada:
a) Buku II
Bab V Tentang perjanjian carter kapal
b) Buku II
Bab VA Tentang Tentang Pengangkutan barang-barang
c) Buku II
Bab V B Tentang Pengangkutan Orang.
2. Ketentuan lainnya dapat ditemukan pada:
a) Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1992 Tentang Pelayaran
b) Peraturan
Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 Tentang Perkapalan
c) Peraturan
Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 Tentang kepelabuhan
d) Keputusan
Menteri Perhubungan Nomor 33 Tahun 2001 Tentang Penyelenggaraan dan Penguasaan
Angkutan Laut.
C. Pengangkutan udara, ketentuan peraturan
perundang-undangan nasional yang mengatur tentang angkutan udara, antara lain:
a) Undang-undang
Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan
a) Ordonansi
Pengangkutan Udara 1939 (luchtervoerordonanntie)
tentang tanggung jawab pengangkut udara
b) Peraturan
pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 Tentang Angkutan Udara.
Selain hukum positif nasional
yang mengatur mengenai angkutan udara juga terdapat beberapa
ketentuan-ketentuan internasional. Di dalam tata urutan sumber hukum konvensi-konvensi internasional dan perjanjian multilateral/bilateral diletakkan di
atas peraturan perundang-undangan nasional. Karena hukum udara termasuk di
dalamnya hukum pengangkutan udara yang lebih bersifat internasional, hukum
udara dan hukum pengakutan udara nasional di setiap negara pada umumnya
mendasarkan diri bahkan ada yang turunan semata dari konvensi-konvensi
internasional dalam bidang angkutan udara
tersebut.
Beberapa sumber hukum angkutan
udara yang bersifat ineternasional, (Konvensi-konvensi
internasional dalam bidang angkutan udara) yaitu sebagai berikut:
a) Konvensi Warsawa (Warsaw Convention) 1929
Konversi Warsawa ini nama
lengkapnya adalah “Convention for The Unification of The Certain Rules
Relating to Internasional Carriage by Air”, ditandatangani pada tanggal 12
Oktober 1929 di Warsawa dan berlaku di Indonesia mulai tanggal 29 September
1933.
Konvensi ini antara lain
mengatur hal pokok, yaitu pertama mengatur masalah dokumen angkutan udara
(chapter II article 3-16) dan yang kedua mengatur masalah tanggungjawab
pengangkut udara.
Konvensi Warsawa penting
artinya karena ketentuan-ketentuan yang terkandung di dalamnya dengan atau
tanpa perubahan di beberapa negara dipergunakan pula bagi angkutan udara
domestik, seperti di Inggris, Negeri Belanda, dan Indonesia. Dengan demikian,
maka setiap perubahan pada Konvensi Warsawa harus pula diikuti dengan seksama
di Indonesia, karena perkembangan dalam hukum udara perdata internasional akan
berpengaruh pula pada hukum udara perdata nasional di Indonesia. Terutama
ketentuan mengenai besarnya ganti rugi, baik untuk penumpang maupun barang
harus sama besarnya, ini berlaku untuk penerbangan domestik maupun
internasional.
b) Konvensi Geneva
Konvensi Geneva ini mengatur
tentang “International Recognition of Right in Aircraft”. Dalam Konvensi
Geneva Indonesia tidak turut serta. Namun demikian dari segi ilmu hukum
konvensi ini penting sekali adanya, karena baik “mortage” (dalam hukum
Anglosaxon) maupun “hipotik” (dalam hukum Kontinental) atas pesawat udara dan
peralatannya dapat diakui secara internasional oleh negara-negara pesertanya.
c) Konvensi Roma 1952
Nama lengkap dari Konvensi ini
adalah “Convention on Damage Caused by Foreign Aircraft to Third Parties on
the Surface”, ditandatangani di Roma pada tanggal 7 Oktober 1952 dan
merupakan pengganti dari konvensi Roma sebelumnya (tahun 1933). Konvensi Roma
tahun 1952 ini mengatur masalah tanggungjawab operator pesawat terbang asing
terhadap pihak ketiga di darat yang menderita kerugian yang ditimbulkan oleh
operator pesawat terbang asing tersebut. Peserta Konvensi Roma tahun 1952
tersebut pesertanya tidak begitu banyak, dan Indonesia pun tidak ikut serta di
dalamnya.
d) Protokol Hague 1955
Nama lengkap dari protokol
Hague adalah Protokol to Amend the Convention for the Unification of Certain
Rules Relating to Internasional Carriage by Air, Signet at Warsaw 12 Oktober
1929. Tetapi lazimnya disebut sebagai Hague Protocol 1955.
Protocol Hague 1955 yang
ditandatangani pada tanggal 28 September 1955, berisi beberapa amandemen
terhadap Konvensi Warsawa 1929 seperti masalah kenaikan limit ganti rugi untuk
penumpang, penyederhanaan dan penyempurnaan tiket penumpang dan surat muatan
udara.
Jumlah peserta Protocol Hague
ini sampai dengan tahun 1981 sebanyak 105 negara. Di dalam peserta Protocol
Hague ini negara Indonesia tidak tercatat di dalamnya, tetapi sebenarnya
Indonesia melalui piagam pernyataan Menteri Luar Negeri RI tanggal 12 Agustus
1960 untuk turut serta (instrument of accession) sebagai negara peserta
kepada Pemerintah Polandia sebagai Depositary State Protocol Hague ini melalui
Kedutaan Besar Indonesia di Moscow untuk diteruskan di Polandia.
e) Konvensi Guadalajara 1961
Nama lengkap daripada Konvensi
Guadalajara 1961 adalah “Convention Supplementary to The Warsaw Convention
for the Unification of Certain Rules Relating to International Carriage by Air
Performed by a person other than the Contracting Carrier. Konvensi
Guadalajara ditandatangani pada tanggal 18 September 1961 dan muali berlaku
sejak tanggal 2 Mei 1964 setelah diratifikasi oleh 5 negara pesertanya.
Konvensi Guadalajara 1961 merupakan suplemen atas Konvensi Warsawa, suplemen
tersebut mengatur masalah tanggungjawab pengangkut udara terhadap pihak-pihak
tidak tersangkut dalam mengadakan perjanjian pengangkutan udara, karena dalam
praktek sering terjadi pengangkut yang sebenarnya bukanlah pengangkut yang
mengadakan perjanjian pengangkutan. Hingga dengan demikian dalam konvensi
dikenal adanya istilah actual carrier dan contracting carrier.
Pada pokoknya Konvensi
Guadalajara memperlakukan ketentuan Konvensi Warsawa terhadap angkutan udara
yang dilakukan oleh pengangkut yang bukan merupakan pengangkut yang mengadakan
perjanjian pengangkutan udara. Sehingga dengan demikian system tanggungjawab
yang dianut sama dengan Konvensi Warsawa.
f) Protokol Guatemala
Protokol Guatemala yang
ditandatangani pada tanggal 8 Maret 1971 memuat perubahan-perubahan penting
atas beberapa ketentuan dalam Konvensi Warsawa dan Protocol Hague, terutama
dalam hal prinsip tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang dan bagasi.
Dalam Protocol Guatemala ini
ditentukan :
a. Tanggung
jawab pengangkut terhadap penumpang dan bagasi digunakan sistem tanggung jawab
yang prinsip “absolute liability dengan prinsip limitation of liability” dan
untuk limit ganti ruginya ditetapkan sebesar 1.500.000,- Gold Franc.
b. Tanggung
jawab terhadap muatan digunakan kombinasi prinsip Presumption of Liability
dengan Limitation of Liability.
c. Tanggung
jawab untuk kerugian yang disebabkan kelambatan terhadap penumpang, bagasi dan
barang digunakan kombinasi prinsip “presumption on non liability dengan
limitation of liability”.
(diambil dari berbagai sumber)
Mengapa KUHD dan Ordonansi Pengangkutan Udara masih dijadikan sumber hukum dalam hukum pengangkutan?
BalasHapusApa saja konvensi pengangkutan barang melalui darat (jalan & kereta api)
BalasHapus