Selasa, 05 Mei 2015

PERJANJIAN PENGANGKUTAN



PERJANJIAN PENGANGKUTAN

Pengertian perjanjian pengangkutan
Perjanjian pengangkutan adalah suatu perjanjian di mana satu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang atau barang dari satu tempat ke lain tempat, sedangkan pihak yang lain menyanggupi akan membayar ongkosnya (Subekti 1985:221).
Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan nama satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 Kitab Undang Undang Hukum Perdata).
Perjanjian pengangkutan merupakan timbal balik dimana pihak pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dari dan ke tempat tujuan tertentu, dan pengiriman barang membayar biaya/ongkos angkutan sebagaimana yang disetujui bersama.
Perjanjian pengangkutan menimbulkan akibat hukum bagi pelaku usaha dan penumpang sebagai hal yang dikehendaki oleh kedua belah pihak. Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik dikenal sebagai pembeda/pembagian perjanjian karena menimbulkan hak dan kewajiban para pihak maka perjanjian pengangkutan disebut perjanjian timbal balik, yaitu konsumen mendapat hak layanan pengangkutan dengan kewajiban membayar biaya pengangkutan, penyelenggara angkutan, memperoleh hak menerima pembayaran jasa pengangkutan dengan kewajiban menyelenggarakan pelayanan angkutan.
Perjanjian pengangkutan perlu mendapatkan pengaturan yang memadai dalam Undang undang Hukum Perikatan yang mana diketahui dalam B.W. kita tidak terdapat pengaturannya tentang perjanjian ini yang dapat dianggap sebagai peraturan induknya (Subekti 1984:47).
Pengangkutan pada hakekatnya sudah diliputi oleh Pasal dari hukum perjanjian dalam B.W. akan tetapi oleh Undang Undang telah ditetapkan berbagai peraturan khusus yang bermaksud untuk kepentingan umum, membatasi kemerdekaan dalam hal membuat perjanjian pengangkutan yaitu meletakkan berbagai kewajiban pada pihak si pengangkut (Subekti 1985:222).
Perjanjian pengangkutan baik dalam bagian ke-2 dan ke-3 Titel V buku I maupun di dalam titel V, VA dan VB buku II Kitab Undang Undang Hukum Dagang tersebut tidak dijumpai definisi atau pengertian mengenai perjanjian pengangkutan pada umumnya (Utari 1994:7).
Kitab Undang Undang Hukum Dagang dalam title V buku II terdapat batasan pengertian mengenai perjanjian penggunaan penyediaan kapal menurut waktu (carter waktu) dan perjanjian penggunaan penyediaan kapal menurut perjalanan (carter perjalanan), yang termuat di dalam Pasal 453 ayat (1) dan ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Perjanjian ini merupakan perjanjian pengangkutan yang bersifat khusus. Hal ini dapat dibuktikan di dalam Pasal 466 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tentang pengangkutan barang dan Pasal 521 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tentang pengangkutan orang (Utari 1994:7-8).

Perjanjian pengangkutan tidak di syaratkan harus tertulis, cukup dengan lisan, asal ada persesuaian kehendak (konsensus) sehingga dapat di artikan bahwa untuk adanya suatu perjanjian pengangkutan cukup dengan adanya kesepakatan (konsensus) diantara para pihak. Dalam praktek sehari-hari, dalam pengangkutan darat terdapat dokumen yang disebut denga surat muatan (vracht brief) seperti dimaksud dalam pasal 90 Kitab Undang Undang Hukum Dagang.
Pengangkutan melalui laut terdapat dokumen konosemen yakni tanda penerimaan barang yang harus diberikan pengangkut kepada pengirim barang. Dokumen tersebut bukan merupakan syarat mutlak tentang adanya perjanjian pengangkutan karena tidak adanya dokumen tersebut tidak membatalkan perjanjian pengangkutan yang telah ada (Pasal 454,504 dan 90 Kitab Undang Undang Hukum Dagang). Jadi dokumen-dokumen tersebut tidak merupakan unsur-unsur dari perjanjian pengangkutan

Asas perjanjian pengangkutan
Ada empat asas pokok yang mendasari perjanjian pengangkutan:
1. Asas Konsensual
Asas ini tidak mensyaratkan bentuk perjanjian angkutan secara tertulis, sudah cukup apabila ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Dalam kenyataannya, hampir semua perjanjian pengangkutan darat, laut, dan udara dibuat secara tidak tertulis, tetapi selalu didukung dokumen pengangkutan. Dokumen pengangkutan bukan perjanjian tertulis melainkan sebagai bukti bahwa persetujuan diantara pihak­pihak itu ada.
Perjanjian pengangkutan tidak dibuat tertulis karena kewajiban dan hak pihak-pihak telah ditentukan dalam Undang Undang. Mereka hanya menunjuk atau menerapkan ketentuan Undang-Undang.
2. Asas Koordinasi
Asas ini mensyaratkan kedudukan yang sejajar antara pihak-pihak dalam perjanjian pengangkutan walaupun perjanjian pengangkutan
pada perjanjian perburuan tidak berlaku pada perjanjian pengangkutan.
3. Asas Campuran
Perjanjian pengangkutan merupakan campuran dari tiga jenis perjanjian, yaitu pemberian kuasa dari pengirim kepada pengangkut, penyimpan barang dari pengirim kepada pengangkut, dan melakukan pekerjaan pengangkutan yang diberikan oleh pengirim kepada pengangkut dan jiika dalam perjanjian pengangkutan tidak diatur lain, maka diantara ketentuan ketiga jenis perjanjian itu dapat diberlakukan karena hal ini ada hubungannya dengan asas konsensual.
4. Asas Tidak Ada Hak Retensi
Penggunaan hak retensi bertentangan dengan fungsi dan tujuan pengangkutan. Penggunaan hak retensi akan menyulitkan pengangkut sendiri, misalnya penyediaan tempat penyimpanan, biaya penyimpanan, penjagaan dan perawatan barang.

Tujuan perjanjian pengangkutan
Perjanjian pengangkutan mempunyai tujuan untuk melindungi hak dari penumpang yang kurang terpenuhi oleh ulah para pelaku usaha angkutan umum karena dengan adanya perjanjian pengangkutan maka memberikan jaminan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
Kitab Undang Undang Hukum Perdata Pasal 1338 ayat (3) telah memberikan suatu asas keadilan yaitu asas pelaksanaan perjanjian secara itikad baik jaminan keadilan itu juga di pedomani pada Pasal 1337 Kitab Undang Undang Hukum Perdata bahwa suatu perjanjian akan dapat dibatal kan jika bertentangan dengan Undang Undang Kesusilaan yang baik dan atau ketertiban umum.
Perjanjian pengangkutan dibuat agar maka para pelaku usaha angkutan umum harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi sewaktu­waktu terhadap penumpang karena menyangkut penumpang melebihi kapasitas.
Undang Undang Lal u Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 192 ayat (1) ka pelaku usaha angkutan umum merugikan penumpang maka pelaku usaha angkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita seperti meninggal dunia atau luka akibat penyelenggaraan angkutan, kecuali disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau karena kesalahan penumpang.

Sifat Perjanjian Pengangkutan
Pengangkutan barang dan atau orang itu merupakan suatu pekerjaan tertentu yang harus dilaksanakan oleh pengangkut dan atas terselenggarakannya pengangkutan oleh karena itu pengangkut berhak atas pembayaran upah.
Perjanjian pengangkutan pada umumnya dalam hubungan hukum antara pengangkut dengan pemakai jasa pengangkutan berkedudukan sama tinggi dan sama rendah, atau bersifat sederajat. Hal ini tidak seperti dalam perjanjian perburuhan di mana dua belah pihak tidak sama tinggi yaitu majikan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari pada buruh (Utari 1994 : 9). Mengenai sifat hukum perjanjian pengangkutan terdapat beberapa pendapat, yaitu :
1. Pelayanan berkala artinya hubungan kerja antara pengirim dan pengangkut tidak bersifat tetap, hanya kadang kala saja bila pengirim membutuhkan pengangkutan atau tidak terus menerus, berdasarkan atas ketentuan Pasal 1601 Kitab Undang Undang Hukum Perdata.
2. Pemborongan sifat hukum perjanjian pengangkutan bukan pelayanan berkala tetapi pemborongan sebagaimana dimaksud Pasal 1601 b Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Pendapat ini didasarkan atas ketentuan Pasal 1617 Kitab Undang Undang Hukum Perdata (Pasal penutup dari bab VII A tentang pekerjaan pemborongan).
3. Campuran perjanjian pengangkutan merupakan perjanjian campuran yakni perjanjian melakukan pekerjaan (pelayanan berkala) dan perjanjian penyimpanan (bewaargeving). Unsur pelayanan berkala (Pasal 1601 b Kitab Undang Undang Hukum Perdata) dan unsur penyimpanan (Pasal 468 ( 1 ) Kitab Undang Undang Hukum Dagang).
Perjanjian pengangkutan mempunyai sifat adalah perjanjian timbal balik yang artinya masing-masing pihak mempunyai kewajiban sendiri-sendiri dimana pihak pengangkut berkewajiban untuk menyelenggarakan pengangkutan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengiriman berkewajiban untuk membayar uang angkutan.

Sah Perjanjian Pengangkutan
Perjanjian pengangkutan dalam pengangkutan barang maupun penumpang antara pengangkut dengan pemakai jasa pengangkutan dapat disebutkan empat syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, yaitu :
1. Adanya kesepakatan antara para pihak.
2. Adanya kecakapan unutk membuat sebuah perjanjian.
3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.
Syarat yang pertama dan kedua adalah syarat yang menyangkut subyeknya, sehingga disebut syarat subyektif, yaitu syarat yang harus dipenuhi oleh subyek perjanjian (sepakat dan cakap) seperti disebutkan dalam Pasal 1330 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah pengampuan.
Undang Undang telah melarang membuat perjanjian terhadap dua syarat terakhir mengenai obyeknya atau syarat obyektif, yaitu syarat yang harus dipenuhi oleh subyek perjanjian (hal tertentu dan sebab yang halal) sesuai dengan Pasal 1332 Kitab Undang Undang Hukum Perdata menyebutkan hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian.
Kitab Undang Undang Hukum Perdata Menurut Pasal 1338 ayat (1) menjelaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang Undang bagi mereka yang membuatnya.
Perjanjian tidak dapat ditarik kembali, selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh Undang Undang dinyatakan cukup untuk itu dan suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Perjanjian kedua belah pihak adalah sah dan para pihak wajib melaksanakan hak dan kewajibannya, apabila syarat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 Kitab Undang Undang Hukum Perdata terpenuhi dan apabila persyaratan sebagaimana disebutkan angka 1 dan 2 tidak dapat dipenuhi oleh penumpang, maka perjanjian dapat dibatalkan dan apabila tidak terpenuhinya syarat angka 3 dan 4 maka perjanjian batal demi hukum.
Pihak dalam perjanjian yang mana salah satunya melakukan wanprestasi (melalaikan kewajiban) maka pihak lain yang dalam hal ini adalah pihak yang merasa dirugikan berhak mengajukan gugatan pembatalan perjanjian atas kelalaian pihak yang melalaikan kewajibannya.
Menurut sistem hukum yang berlaku di indonesia dewasa ini, untuk mengadakan perjanjian pengangkutan barang-barang atau penumpang tidak disyaratkan harus secara tertulis, sesuai dengan empat syarat yang disebutkan diatas. Jadi, cukup diwujudkan dengan persetujuan kehendak secara lisan saja maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian pengangkutan itu bersifat konsensual (Utari 1994:12-13).

Asas-Asas Hukum Perjanjian Pengangkutan
Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum Perdata menyebutkan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang Undang bagi mereka yang membuatnya, sehingga dengan asas itu hukum perjanjian menganut sistem terbuka, yang memberi kesempatan bagi semua pihak untuk membuat suatu perjanjian ketentuan di atas memberikan jaminan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
Kitab Undang Undang Hukum Perdata Pasal 1338 ayat (3) telah memberikan suatu asas keadilan yaitu asas pelaksanaan perjanjian secara itikad baik jaminan keadilan itu juga dipedomani pada Pasal 1337 Kitab Undang Undang Hukum Perdata bahwa suatu perjanjian akan dapat dibatalkan jika bertentangan dengan Undang Undang Kesusilaan yang baik dan atau ketertiban umum.
Asas-asas hukum perjanjian meliputi :
1. Asas kebebasan berkontrak
Setiap orang bebas menentukan isi dan syarat yang digunakan dalam suatu perjanjian yang diambil untuk mengadakan atau tidak mengadakan suatu perjanjian (Pasal 1338 Kitab Undang Undang Hukum Perdata).
2. Asas konsesualisme
Dengan adanya konsesual isme Kontrak dikatakan telah lahir jika telah ada kata sepakat atau persesuaian kehendak diantara para pihak yang membuat.
3. Asas pacta sunt servanda
Keseimbangan hak dan kewajiban antara kedua belah pihak seimbang, maka asas kepastian hukum ini dapat dicapai semua perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai Undang Undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum Perdata) dan pihak ketiga wajib menghormati perjanjian yang dibuat oleh para pihak artinya tidak boleh mencampuri isi perjanjian.
4. Asas kepribadian
Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkan suatu janji dari pada untuk dirinya (Pasal 1315 Kitab Undang Undang Hukum Perdata) bila dibuat maka pihak ketiga tidak rugi dan mendapat manfaat karenanya. Pada dasarnya seseorang dapat minta ditetapkan dirinya sendiri kecuali Pasal 1317 Kitab Undang Undang Hukum Perdata yaitu janji untuk pihak ke-3 (ketiga).


(diambil dari berbagai sumber)

2 komentar:

  1. nice artikel gan... untuk ngelengkapin contoh perjanjian pengangkutan barang, bisa kunjungi link ini...

    http://www.legalakses.com/download-draf-perjanjian-jasa-pengangkutan-barang/

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah,. Bisa lebih pahamnkami lewat web ini

    BalasHapus

Popular Posts